SOLUSI PAJAK INDONESIA ( SOPINDO)

SOLUSI PAJAK INDONESIA ( SOPINDO) :
HADIR DI INDONESIA UNTUK MEMBERIKAN INFORMASI DAN SOLUSI PERPAJAKAN BAGI SELURUH LAPISAN MASYARAKAT

Selasa, 31 Agustus 2010

PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP PENGUSAHA YANG MENGALAMI GAGAL PRODUKSI

1. DASAR HUKUM

a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);

c. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010 tentang SAAT PENGHITUNGAN DAN TATA CARA PEMBAYARAN KEMBALI PAJAK MASUKAN YANG TELAH DIKREDITKAN DAN TELAH DIBERIKAN PENGEMBALIAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK PKP) YANG MENGALAMI KEADAAN GAGAL BERPRODUKSI

2. LATAR BELAKANG

Pemberlakuan peraturan tentang PKP yang mengalami gagal berproduksi wajib membayar Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah dikembalikan ini, dilatarbelakangi oleh adanya pasal 9 ayat 2(a) dan pasal 9 ayat 4(b) UU PPN No 42 tahun 2009 yaitu adanya fasilitas kemudahan dalam pengembalian kelebihan pajak bagi PKP yang belum berproduksi, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan

b. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (4a), (yaitu : apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan atas kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku) atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak yang salah satunya adalah oleh Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud pada poin 2. a

Namun, untuk mencegah agar PKP tidak mengulur-ulur waktu dalam menentukan target produksi perusahan mereka, maka perlu dibuatkan aturan mengenai kapan dan apa konsekuensinya perusahaan dinyatakan gagal berproduksi.

3. PENGERTIAN DAN SAAT GAGAL BERPRODUKSI

Pengusaha Kena Pajak yang mengalami gagal berproduksi wajib membayar kembali Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan Barang Modal yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.

Yang dimaksud gagal berproduksi adalah sebagai berikut:

  1. Suatu keadaan dari PKP dengan kegiatan usaha utama sebagai produsen yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:

1) penyerahan Barang Kena Pajak;

2) penyerahan Jasa Kena Pajak;

3) ekspor Barang Kena Pajak; dan/atau

4) ekspor Jasa Kena Pajak,

yang berasal dari hasil produksinya sendiri.

  1. Suatu keadaan dari PKP dengan kegiatan usaha utama PKP selain produsen sebagaimana dimaksud pada huruf a, apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:

1) penyerahan Barang Kena Pajak;

2) penyerahan Jasa Kena Pajak;

3) ekspor Barang Kena Pajak; dan/atau

4) ekspor Jasa Kena Pajak,

Saat gagal berproduksi berakhir dalam jangka waktu:

a. 3 (tiga) tahun untuk suatu keadaan sebagaimana dimaksud pada poin 3 a; dan

b. 1 (satu) tahun untuk keadaan sebagaimana dimaksud pada poin 3 b.

4. PEMBAYARAN & SANKSI

a. Pembayaran

Besarnya Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali adalah sebesar Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.

Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali, disetorkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat gagal berproduksi.

Pembayaran kembali Pajak Masukan, dilakukan oleh PKP yang gagal berproduksi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak dengan mencantumkan keterangan "Pembayaran kembali Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan Barang Modal yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian".

Pembayaran kembali Pajak Masukan tersebut, dilaporkan pada Masa Pajak dilakukan pembayaran.

b. Sanksi

1) Terhadap PKP yang melakukan pembayaran kembali sebagaimana dimaksud di atas, diterbitkan Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

2) Dalam hal PKP tidak melakukan kewajiban pembayaran kembali sebagaimana dimaksud di atas, terhadap PKP diterbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada poin b 2) ini, terdiri dari Pajak Masukan yang belum dibayar dan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

5. PENGECUALIAN TERHADAP KETENTUAN INI

Dalam hal gagal berproduksi disebabkan oleh bencana alam atau sebab lain di luar kekuasaan PKP (force majeur), PKP tidak wajib membayar kembali Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan Barang Modal yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.

Selasa, 13 April 2010

Tax for Insurance Agent and MLM Distributor

1. Dasar hukum

- Pasal 14 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008.

- Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-536/PJ/2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan.

- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-100/PJ/2009 tentang Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Petugas Dinas Luar Asuransi Dan Distributor Perusahaan Multilevel Marketing atau Direct Selling.

2. Pengertian

Wajib Pajak Orang Pribadi dengan profesi:

a. petugas dinas luar asuransi yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung;

b. distributor perusahaan MLM atau Direct Selling yang kegiatannya melakukan:

1) penjualan barang dari perusahaan MLM atau Direct Selling; dan/atau

2) pengembangan jaringan usaha MLM atau Direct Selling,

termasuk dalam katagori Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2008 sepanjang petugas dinas luar asuransi dan distributor perusahaan MLM atau Direct Selling tersebut tidak berstatus pegawai dari perusahaan terkait.

Petugas dinas luar asuransi dan distributor perusahaan MLM atau Direct Selling boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan syarat:

- peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,-; dan

- memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak (melalui Kantor Pelayanan Pajak WP terdaftar) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan

3. Besaran Prosentase Norma

Besaran prosentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi petugas dinas luar asuransi dan distributor perusahaan MLM atau Direct Selling adalah sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-536/PJ/2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan (sesuai daftar lampiran keputusan ini), dengan penegasan sebagai berikut:

a. petugas dinas luar asuransi diklasifikasikan dalam jenis usaha ”Pekerjaan bebas bidang profesi lainnya” yaitu sebesar 50%.

b. Distributor perusahaan MLM atau direct selling diklasifikasikan dalam jenis usaha sebagai berikut:

1) atas penjualan barang dari perusahaan MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha ”Perdagangan eceran barang-barang hasil industri pengolahan” yaitu sebesar 30%;

2) atas pengembangan jaringan usaha MLM atau direct selling termasuk dalam jenis usaha ”Pekerjaan bebas bidang profesi lainnya” yaitu sebesar 50%.





Selasa, 30 Maret 2010

PAJAK PENGHASILAN ATAS JASA KONSTRUKSI

Dasar Hukum:

  1. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008 jo Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
  2. Peraturan Menteri Keuangan No. 187/PMK.03/2008 jo Peraturan Menteri Keuangan No. 153/PMK.03/2009 tentang tata cara pemotongan, penyetoran, pelaporan dan penatausahaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi.

PENGERTIAN

Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.

Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.

Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.

Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).

Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.

Pengguna Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap yang memerlukan layanan jasa konstruksi.

Penyedia Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.

Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan.

SUBJEK DAN OBJEK PAJAK

Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima penghasilan dari usaha di bidang jasa konstruksi.

TARIF

Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan sebagai berikut:

Memiliki Kualifikasi Usaha

Bentuk Pekerjaan

Klasifikasi Usaha

Tarif *)

Sifat

Pelaksanaan Konstruksi

Kecil

2%

Final

Menengah & Besar

3%

Final

Perencanaan & Pengawasan Konstruksi

Kecil, Menengah & Besar

4%

Final

Tidak Memiliki Kualifikasi Usaha

Bentuk Pekerjaan

Tarif *)

Sifat

Pelaksanaan Konstruksi

4%

Final

Perencanaan & Pengawasan Konstruksi

6%

Final

*) dari jumlah/penerimaan pembayaran tidak termasuk PPN

Ketentuan ini berlaku 1 Agustus 2008, dalam hal:

  1. Kontrak yang ditandatangani sebelum 1 Agustus 2008 dan pembayaran dari kontrak atau bagian dari kontrak tersebut dilakukan s.d 31 Desember 2008 tunduk pada ketentuan lama;
  2. Kontrak yang ditandatangani sebelum 1 Agustus 2008 dan pembayaran dari kontrak atau bagian kontrak tersebut setelah tgl 31 Desember 2008, maka:

- Berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani penyedia jasa s.d 31 Desember 2008, maka tunduk pada ketentuan lama;

- Berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani penyedia jasa setelah 31 Desember 2008, maka tunduk pada ketentuan baru.

TATA CARA PEMOTONGAN

  1. Bila pengguna jasa adalah badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran uang muka dan termin.
  2. Bila pengguna jasa adalah selain huruf a, disetor sendiri oleh penerima penghasilan pada saat pembayaran uang muka dan termin.

TATA CARA PEMBAYARAN DAN PELAPORAN

  1. Dalam hal Pajak Penghasilan yang terutang melalui pemotongan, maka Pembayaran atau penyetoran pajak disetor ke Bank Persepsi atau kantor pos, paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir;
  2. Dalam hal Pajak Penghasilan terutang harus disetor sendiri oleh penyedia jasa, maka wajib menyetor ke bank persepsi atau kantor pos, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir;
  3. Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan pemotongan dan/atau penyetoran sendiri pajaknya melalui Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau KP2KP, paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir.

Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur Nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Selasa, 09 Maret 2010

Pajak Untuk Penjualan Tanah Bangunan (Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan)

A. Pengertian

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan.

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

  1. penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;
  2. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;
  3. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.

B. Pembayar atau Penyetor PPh

Pajak Penghasilan wajib:

1. Dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, atau

2. Dipungut oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan kepada Pemerintah.

C. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak

1. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan termasuk yayasan atau organisasi sejenis baik merupakan usaha pokok maupun diluar usaha pokok yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan, besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, kecuali:

a. dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan;

b. dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.

Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak terutang tahun pajak sebelumnya.

Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, maka Nilai Jual Objek Pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan berada.

2. Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.

Rumah Sederhana terdiri atas Rumah Sederhana Sehat dan Rumah Inti Tumbuh, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Rumah Susun Sederhana adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

D. Dikecualikan dari Kewajiban Pembayaran/Pemungutan PPh

Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan adalah:

1. orang pribadi yang mempunyai penghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;

2. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;

3. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

4. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau

5. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.

Termasuk yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak.

E. Tata Cara Penyetoran dan Pemungutan

1. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dan pada SSP wajib dicantumkan :

- Nama, alamat dan NPWP pihak yang mengalihkan (orang pribadi atau Badan ybs)

- Lokasi tanah dan/atau bangunan yang dialihkan

- Nama Pembeli

2. Orang Pribadi yang nilai pengalihan tidak lebih dari Rp. 60.000.000,- tetapi penghasilan lainnya dalam 1 tahun melebihi PTKP, penyetoran PPh Final selambat-lambatnya pada akhir tahun pajak ybs.

3. Bendahara Pemerintah atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar-menukar, memungut PPh yang terutang dan menyetorkannya ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan SSP sebelum pembayaran atau tukar-menukar dilaksanakan kepada Orang Pribadi atau Badan.

F. Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
  3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
  4. Peraturan Dirjen Pajak Nomor 30/PJ/2009 tentang Tata Cara Pemberian Pengecualian dari Kewajiban Pembayaran atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
  5. Peraturan Dirjen Pajak Nomor 28/PJ.2009 tentang Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Jumat, 05 Maret 2010

LAPOR PAJAK UNTUK DOKTER

Pajak Penghasilan adalah pajak atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak.

Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Salah satu jenis penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan adalah penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lain, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh. Tambahan kekayaan neto (KENAIKAN HARTA) yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak juga termasuk sebagai objek Pajak Penghasilan.

Dengan demikian Wajib Pajak yang menerima penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan, wajib membayar atau melunasi Pajak penghasilan termasuk penghasilan yang diterima Wajib Pajak Orang Pribadi seperti Dokter.

A. Status Dokter:

1. Dokter Pegawai Negeri Sipil (PNS)

2. Dokter Non Pegawai Negeri Sipil (Non PNS)

B. Jenis penghasilan apa saja yang diterima Dokter dikenakan Pajak Penghasilan?

Dokter karena keahliannya atau kegiatannya dapat menerima penghasilan yang berupa:

1. Gaji dan tunjangan serta pembayaran lainnya terkait dengan gaji, sebagai pegawai tetap;

2. Honorarium, komisi, atau fee sebagai tenaga ahli;

3. Uang saku, uang presentasi, uang rapat karena dokter sebagai peserta kegiatan.

4. Hadiah atau penghargaan, bonus, gratifikasi atau imbalan dalam bentuk lain, karena sebagai dokter yang memberikan keuntungan bagi produsen obat-obatan atau alat kesehatan lainnya;

5. Laba usaha karena sebagai dokter yang buka praktek;

Penghasilan Dokter PNS :

· Gaji & Tunjangan (terkait dgn status PNS)

· Honorarium (dari APBN/APBD)

· Penghasilan dari Non APBN/APBD

· Pekerjaan Bebas (praktek, dagang, dll)

Penghasilan Dokter Non PNS :

· Penghasilan dari APBN/APBD (sebagai tenaga ahli)

· Penghasilan dari Non APBN/APBD (dari RS)

· Pekerjaan Bebas (Praktek, dagang, dll)

C. Bagaimana cara penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima dokter?

Untuk mengetahui berapa PPh yang harus dibayar atau dilunasi dokter atas penghasilan yang diterimanya, terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa pembayaran atau pelunasan PPh dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu :

1. Pemotongan/Pemungutan oleh pihak pemberi hasil;

2. Penyetoran sendiri oleh Wajib pajak setelah menghitung dan memperhitungkan PPh terhutang selama satu tahun.

Besarnya PPh atas penghasilan berupa gaji dan tunjangan serta pembayaran lainnya yang terkait dengan gaji, honorarium, komisi atau fee, hadiah, bonus, gratifikasi, uang saku, uang presentasi dan uang rapat, yang diberikan oleh pemberi kerja yang ditunjuk sebagai pemotong, ditentukan melalui penghitungan yang dilakukan oleh pemberi kerja tersebut. PPh yang terhutang ini disebut juga dengan PPh Pasal 21 karena diatur dalam Pasal 21 di UU PPh.

Tarif yang digunakan untuk pemotongan PPh Pasal 21 khusus untuk dokter (tenaga ahli) adalah :

1. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari Penghasilan Kena Pajak (adanya ikatan kerja dg pemberi kerja mis. Sebagai pegawai tetap);

2. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21. Dasar Pengenaan dan Pemotongan ditentukan sebesar 50% dari jumlah bruto (penerimaan honorarium, dll utk PNS dr RS Swasta dan penerima honorarium utk non PNS baik dr APBN/APBD maupun RS Swasta); dan

3. Tarif 15% dari jumlah bruto (bersifat Final) khusus untuk penghasilan berupa honorarium, uang sidang, uang hadir, uang lembur, imbalan prestasi kerja, dan imbalan lain dengan nama apapun yang dananya berasal dari APBN/APBD serta yang menerimanya PNS/TNI/POLRI/Pejabat Negara golongan III/a ke atas tau Letnan Dua ke atas.

Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah

Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Tarif

s.d. Rp 50.000.000

5%

diatas Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000

15%

diatas Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000

25%

diatas Rp 500.000.000

30%

Cara penghitungannya sebagai berikut :

1. Gaji dan tunjangan serta pembayaran lainnya terkait dengan gaji, karena sebagai pegawai tetap.

Misalnya Dokter A (status sendiri dan tidak mempunyai tanggungan) pegawai tetap di RS X dengan gaji dan tunjangan sebulan Rp 15.000.000,-

PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja :

Gaji + Tunjangan setahun Rp. 15.000.000 X 12 bln (Penghasilan Bruto) Rp. 180.000.000

Pengurang:

- Biaya Jabatan Rp. (6.000.000)

(5% X jumlah bruto penghasilan setahun, max Rp. 6.000.000)

- PTKP Rp. (15.840.000)

Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp. 158.160.000

Pajak Penghasilan Terutang:

5% X Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000

15% X Rp. 108.160.000 Rp. 16.224.000 Rp. 18.724.000

Dokter A wajib menerima bukti potong PPh pasal 21 dari Rumah Sakit X.

2. Honorarium, komisi atau fee, uang saku, uang presentasi, uang rapat yang dananya berasal dari APBN/APBD ataupun yang bukan.

Þ Misalnya Dokter A (PNS/TNI/POLRI) menerima honorarium yang dananya dari APBN/APBD sebesar Rp10.000.000.

PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja/ pemberi penghasilan:

15% xRp10.000.000 = Rp1.500.000,-

Pemotongan PPh Pasal 21 ini bersifat final atau tidak diperhitungkan lagi dengan penghasilan lainnya sehingga sudah selesai penghitungan PPh, namun tetap dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh-nya (melampirkan bukti potong PPh Pasal 21 tersebut).

Þ Misal Dokter A (swasta) menerima uang presentasi yang dananya dari APBN/APBD sebesar Rp10.000.000, dari Departemen Kesehatan.

PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja/pemberi penghasilan:

5% x (50% x Rp10.000.000,-) = Rp250.000,-

Dokter A (swasta) wajib menerima bukti potong PPh Pasal 21 dari Departemen Kesehatan dan menghitung kembali penghasilan tersebut dalam SPT Tahunan PPh-nya.

Þ Misal Dokter A (swasta ataupun PNS/TNI/POLRI) menerima honorarium pada bulan Maret 2009 sebesar Rp30.000.000. dari Rumah sakit Z

PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja/pemberi penghasilan :

5% x (50% x Rp30.000.000,-) = Rp750.000.-

Dokter A wajib diberikan bukti potong PPh Pasal 21.

Catatan :

a. apabila penghasilan tersebut diberikan karena pekerjaan atau jasanya bersifat berkesinambungan baik berdasarkan kontrak atau kenyataan sebenarnya, maka tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a diterapkan atas jumlah kumulatifnya.

Misalnya di bulan April 2009 Dokter A juga mendapat honorarium sebesar Rp80.000.000,- dari Rumah Sakit Z (bulan Maret 2009 telah menerima Rp30.000.000,-), sehingga jumlah kumulatifnya menjadi Rp30.000.000,- + Rp80.000.000,- = Rp110.000.000,-

Dasar Pemotongan PPh Pasal 21 dari jumlah kumulatif tersebut adalah 50% x Rp110.000.000,- = Rp55.000.000,- , sehingga PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh Rumah Sakit Z adalah :

5% X Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000,-

15% X Rp 5.000.000 = Rp 750.000,- (+)

Total Rp 3.250.000,-

Karena bulan Maret telah dipotong Rp750.000,-, maka bulan April PPh yang harus dipotong Rp3.250.000,- - Rp750.000 = Rp2.500.000

b. Jumlah penghasilan bruto bagi Dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik adalah sebesar jasa Dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.

Misalnya, Pasien A membayar tagihan Rumah Sakit Z sebesar 25 juta, dengan rincian uang obat Rp5.000.000,- dan uang jasa Dokter B sebesar Rp20.000.000,-. Rumah Sakit Z menerima bagi hasil dari uang jasa Dokter B sebesar 50% dari jumlah tersebut atau Rp10.000.000,- (sesuai dengan perjanjian).

Rumah Sakit Z memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima Dokter B dari jumlah penghasilan bruto Rp20.000.000,- bukan dari jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagi hasil atau Rp10.000.000,-.

Sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong Rumah Sakit Z adalah : 5% x (50% x Rp20.000.000) = Rp500.000,-

3. Hadiah atau penghargaan, bonus, gratifikasi atau imbalan dalam bentuk lain, karena sebagai dokter yang memberikan keuntungan bagi produsen obat-obatan atau alat kesehatan lainnya.

Þ Misalnya Dokter A (bukan pegawai tetap di PT X) menerima hadiah berupa tiket pesawat dan akomodasinya dari PT X senilai Rp50.000.000.

PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi penghasilan :

5% xRp50.000.000 = Rp2.500.000,-

Dokter A wajib menerima bukti potong PPh Pasal 21 dari PT X dan dan menghitung kembali penghasilan tersebut dalam SPT Tahunan PPh-nya.

Apabila dari hadiah tersebut ternyata tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 dari PT X, maka Dokter A wajib menghitung dan membayar sendiri Pajak Penghasilan dari hadiah tersebut di dalam SPT Tahunan PPh-nya.

4. Laba usaha karena sebagai dokter yang buka praktek

Dokter yang menerima penghasilan dari membuka praktek dapat menghitung PPh melalui 2 cara yaitu pembukuan atau pencatatan.

a. Pembukuan.

Laba usaha baik dari praktek maupun pekerjaan bebas seperti dokter sebagai tenaga ahli di Rumah sakit/Klinik Kesehatan, didapat dari hasil laporan Rugi Laba. Apabila Untung maka atas keuntungan tersebut dikenakan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh setelah terlebih dahulu dikurangi dengan PTKP setahun.

Þ Misalnya Dokter A menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung besarnya PPh yang terutang selama satu tahun :

Peredaran bruto/Omzet Rp. 500.000.000

Pengurang:

- Biaya Operasional (Gaji pegawai, peralatan, obat, listrik, dll) Rp. (300.000.000)

Penghasilan Neto Rp. 200.000.000

Pengurang : PTKP Rp. (15.840.000)

Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp. 184.160.000

Pajak Penghasilan Terutang:

5% X Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000

15% X Rp. 134.160.000 Rp. 20.124.000 Rp. 22.624.000

b. Pencatatan

Laba usaha dari praktek maupun pekerjaan bebas seperti dokter sebagai tenaga ahli, didapat dari peredaran atau penerimaan bruto (omzet) selama satu tahun dikalikan norma penghitungan penghasilan neto (misalnya untuk praktek di Jakarta ditentukan norma penghasilan nettonya 45%). Hasil perkalian (Penghasilan neto) tersebut dikalikan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh setelah terlebih dahulu dikurangi PTKP

Þ Misalnya Dokter A memperoleh penghasilan dari praktek di Jakarta dengan peredaran atau penerimaan bruto (omzet) setahun Rp300.000.000, dan dari Rumah sakit Z sebagai dokter tamu (praktek) Rp200.000.000,- (PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Rumah Sakit Z sebesar Rp5.000.000,-).

Peredaran bruto setahun ( Rp. 300.000.000 + Rp. 200.000.000) Rp. 500.000.000

Penghasilan Neto ( Rp. 500.000.000 X 45%) Rp. 225.000.000

Pengurang : PTKP Rp. (15.840.000)

Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp. 209.160.000

Pajak Penghasilan Terutang:

5% X Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000

15% X Rp. 159.160.000 Rp. 23.874.000 Rp. 26.374.000

PPh yang harus disetor Dokter A ke Bank Persepsi atau Kantor Pos ( diasumsikan Dokter A tidak memperoleh penghasilan lain pada tahun tersebut ) adalah :

Rp 26.374.000,- - Rp5.000.000,- = Rp21.374.000,-

CATATAN PENULIS:

Apabila Anda mengalami permasalahan dalam proses penghitungan, penyetoran, pelaporan pajak yang berhubungan dengan Profesi Anda, segeralah hubungi kami, Telp. 021 8716456