SOLUSI PAJAK INDONESIA ( SOPINDO)

SOLUSI PAJAK INDONESIA ( SOPINDO) :
HADIR DI INDONESIA UNTUK MEMBERIKAN INFORMASI DAN SOLUSI PERPAJAKAN BAGI SELURUH LAPISAN MASYARAKAT

Kamis, 24 November 2011

SOPINDO NOPEMBER 2011 : PERENCANAAN PAJAK / TAX PLANNING UNTUK ORANG PRIBADI


Pertama-tama, permohonan maaf Sopindo sampaikan sehubungan baru saat ini dapat menyusun materi tentang tax planning yang sudah dijanjikan sejak lama. Dengan tulisan ini, semoga pembaca Sopindo semakin memahami penerapan pajak untuk diri (orang pribadi) sendiri dan mampu merencanakan perpajakannya dengan benar sesuai ketentuan yang berlaku.

I.      PENDAHULUAN
Seperti kita ketahui bersama bahwa sistem pemungutan pajak di Indonesia menerapkan sistem yang dinamakan ‘Self Assessment’ dimana Wajib Pajak diberi kesempatan untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya yakni menghitung, menyetor dan melaporkan pajaknya sendiri sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Negara dalam hal ini pemerintah, memberi kesempatan pelaksanaan kepatuhan kewajiban perpajakan kepada warga negaranya dan dalam hal tertentu akan dilakukan pengujian kepatuhan tersebut melalui program pemeriksaan (tax audit). Sehubungan dengan hal tersebut dan agar dalam proses pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan tersebut berjalan dengan baik dan mampu meminimallisir tax penalty yang akan dikenakan, maka sangat diperlukan adanya perencanaan pajak yang benar dan tepat.
Adapun tujuan perencanaan pajak (tax planning) adalah Meminimumkan Pembayaran Pajak Namun Tetap Berada Dalam Koridor Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.
Dilatarbelakangi hal tersebut, pada kesempatan ini penulis mencoba mengupas mengenai mekanisme-mekanisme tax planning yang dapat diterapkan khusus untuk orang pribadi dibawah koridor peraturan perpajakan yang berlaku. Pembahasan ini akan diuraikan secara mendalam dari berbagai macam strategi administrasi dan pelaporan pajak disertai analisa tax planningnya.


II.    MEKANISME TAX PLANNING BAGI ORANG PRIBADI
Mekanisme tax planning untuk orang pribadi menurut penulis dapat dibagi dalam beberapa hal yakni :
1.    Strategi Pendaftaran NPWP Suami-Istri
2.    Strategi Mengelola Active Income
3.    Strategi Mengelola Passive Income
4.    Strategi Mengelola Usaha Sendiri dalam bentuk badan usaha
5.    Strategi mekanisme Hibah

1.    Strategi Pendaftaran NPWP Suami-Istri
Sistem pengenaan pajak di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah
Penulis menggambarkan ada 2 kondisi yang sering diterapkan di masyarakat yakni: 
a.    Istri mempunyai NPWP sendiri
b.    Wanita kawin/ istri, NPWP ikut suami, dimana:
-       Sumber penghasilan istri hanya dari 1 pemberi kerja
-       Sumber penghasilan istri lebih dari 1 pemberi kerja dan/atau punya kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Analisa tax planning:
Apabila dalam sebuah keluarga dengan kondisi istri hanya bekerja di 1 perusahaan saja dan melihat ketentuan bahwa ikut NPWP suami, penghitungannya dianggap Final, maka untuk mencegah timbulnya kurang bayar akibat penggabungan penghitungan tersebut, alangkah baiknya sang istri ikut NPWP suami dari pada memiliki NPWP sendiri.
Di lain pihak, apabila kondisi sebuah keluarga dimana istri bekerja lebih dari satu perusahaan atau mempunyai kegiatan usaha/pekerjaan bebas, maka istri memiliki NPWP sendiri maupun ikut NPWP suami merupakan opsi yang sama. Namun di masyarakat, untuk istri yang memiliki NPWP sendiri, sering kita temui bahwa keluarga yang tidak mengadakan perjanjian pisah harta dan penghasilan, mengalami kesulitan dalam pelaporan harta di SPT masing-masing dan memang hal itu akan dapat dijelaskan secara detail apabila pencatatan suami maupun istri dilakukan dengan benar, namun alangkah lebih praktisnya apabila pelaporan harta itu digabungkan di dalam 1 SPT melalui mekanisme istri ikut NPWP suami

2.    Strategi Mengelola Active Income
Aktive income di sini dimaksud adalah penghasilan yang diterima oleh Orang Pribadi dalam hubungannya dengan pekerjaannya yakni dia memperoleh gaji, bonus, honor, THR dll.
Kadang kala ditemukan kondisi bahwa Orang Pribadi bekerja dan menerima penghasilan di lebih dari 1 perusahaan sehingga setelah diperhitungkan seluruh penghasilan tersebut dalam SPT tahunan maka akan menimbulkan kurang bayar, meskipun telah dilakukan pemotongan (PPh Psl 21) di masing-masing tempat kerja.
Atau kita pada bagian awal tahun pajak bekerja di Perusahaan A kemudian di akhir tahun pindah kerja ke perusahaan B, ini juga akan menimbulkan tambahan bayar di pelaporan SPT tahunan karena penghasilan dari perusahaan awal (A) tidak diteruskan dalam penghitungan pajak penghasilan di perusahaan akhir (B).
Analisa tax planning:
Apabila kita berkerja di perusahaan-perusahaan yang berkaitan misalnya induk dan anak perusahaan, maka sebaiknya diusahakan penerimaan penghasilan dikumpulkan di 1 perusahaan saja misalnya hanya di induk perusahaan dan ini akan mengurangi timbulnya kurang bayar di pelaporan SPT Tahunan.
Apabila kita pindah bekerja dalam 1 tahun pajak dari perusahaan 1 ke perusahaan yang lain, maka sebaiknya segera setelah pindah, dimintakan bukti potong PPh Psl 21 dari perusahaan awal untuk diberikan ke perusahaan baru dalam rangka penghitungan pajak yang harus dipotong (PPh Psl 21) dan ini akan mengurangi timbulnya kurang bayar di pelaporan SPT Tahunan.

3.    Strategi Mengelola Passive Income
Untuk meningkatkan taraf hidup kita dan keluarga, hasil tabungan/saving dari bekerja (aktive income) dan segala modal (harta) yang dimiliki pastinya harus dimanfaatkan untuk menghasilkan passive income. Di sini sudah sangat terbukti bahwa apabila kita memiliki modal (harta) yang bisa menghasilkan pasive income, kita akan mencapai suatu kemakmuran, yang sering disebut ‘kaya’
Contoh passive income:
a.    Bunga, termasuk bunga deposito dari tabungan/deposito kita  
b.    Sewa harta non tanah bangunan
c.    Sewa harta tanah bangunan
d.    Dividen dari saham yang ditanamkan di suatu perusahaan
e.    Capital gain/keuntungan dari penjualan harta
f.     dll 

Contoh kasus:
a.    Bunga, termasuk bunga deposito
Bunga dari kita meminjamkan uang/modal ke pihak lain akan berimplikasi ke pengenaan tarif pasal 17 orang pribadi dalam pelaporan SPT Tahunan meskipun telah dipotong pph psl 23 oleh pihak pembayar. Sedangkan bunga dari tabungan/deposito, pajaknya dikenakan final 20% tanpa diperhitungkan lagi di penghitungan PPh dalam SPT tahunan.
b.    Sewa harta non tanah bangunan dan harta tanah bangunan
Penghasilan dari sewa dari non tanah bangunan tetap akan diperhitungkan dalam penghitungan PPh SPT Tahunan sedangkan penghasilan dari sewa tanah bangunan dikenakan pajak Final. Pengenaan pajak final akan lebih efektif untuk perencanaan pajak.
c.    Dividen
Bagi pengusaha yang banyak memiliki saham terutama di perusahaan keluarga, sejak tahun 2009 lebih memilih mendapatkan income dari perusahaannya berupa dividen dari pada berupa gaji, karena saat ini pajak atas dividen dikenakan Final 10%.
d.    Capital Gain
Pengusaha yang disebutkan pada kasus dividen, jika ingin menjual sahamnya akan menjual sahamnya ke perusahaan afiliasinya terlebih dahulu (biasanya dengan harga nominal atau harga dibawah pasar), baru kemudian oleh perusahaannya dijual ke pihak lain, untuk menghindari pengenaan PPh tarif Psl 17 dalam SPT Tahunan orang pribadi karena keuntungan akan berpindah dari orang pribadi/pemegang saham ke perusahaan afiliasi yg dimiliki orang pribadi itu juga dan keuntungan yg diperoleh oleh perusahaan afiliasinya tidak serta merta akan langsung dikenakan pajak melainkan akan dikurangi terlebih dahulu dengan biaya-biaya perusahaan. Jadi pengenaan pajaknya tidak akan sebesar keuntungan penjualan saham tersebut.

4.    Strategi Mengelola Usaha Sendiri dalam bentuk badan usaha
Selain menghindari pengenaan tarif yang lebih tinggi, dengan mendirikan perusahaan, para pemegang saham seringkali memanfaatkan perusahaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Sering ditemukan adanya pembebanan biaya yang terkait dengan kepentingan pribadi pemegang saham, namun hal itu menjadi suatu hal yang umum, sehingga selain income yang diperoleh dari perusahaan akan tetap bersih tanpa dikurangi biaya hidup yang telah dibebankan ke perusahaan, dari pajak perusahaan juga akan terkoreksi lebih rendah. Namun itu menjadi resiko yang diambil oleh pemegang saham, yang apabila diperiksa oleh Kantor Pajak maka akan ada koreksi tambahan bayar baik di perusahaan maupun di pajak pribadinya (dianggap dividen terselubung). Namun hal itu kemungkinan kecil terjadi, apabila kondisi pajak perusahaan diatur sedemikian rupa sehingga tidak rugi dan lebih bayar yang pastinya menjadi prioritas utama untuk diperiksa oleh Kantor Pajak.
Begitu juga apabila ada orang pribadi yang mempunyai keahlian (sebagai tenaga ahli) misalnya konsultan, sering mendirikan perusahaan untuk melaksanakan aktivitas usahanya, namun perlu juga dibuat strategi misalnya untuk pendapatan yang berasal dari pembeli jasa yang tidak ingin dipungut PPNnya maka sebaiknya dialihkan menjadi pendapatan pribadinya bukan pendapatan perusahaan dan dilaporkan dalam SPT Tahunan Orang Pribadi, tapi perlu juga diperhitungkan bahwa omzet pribadi tidak boleh lebih dari Rp. 600.000.000,- karena apabila telah mencapai jumlah tersebut, maka diwajibkan untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPNnya yang kalau untuk usaha orang pribadi akan menyita waktu bila diwajibkan untuk melaksanakan administrasi dan pelaporan PPNnya. Untuk aspek Pajak Penghasilannya, usaha orang pribadi ini dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dalam melaporkan kewajiban pajaknya.  

5.    Strategi mekanisme Hibah
Banyak Orang Pribadi terutama pengusaha yang sering menghibahkan hartanya kepada anak atau pihak lain. Dalam ketentuan perpajakan, dikecualikan dari objek pajak adalah harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Contoh kasus:
Sehubungan ketentuan penegasan tentang hibah hanya menekankan pada objek yang dikenakan pajak adalah hanya atas hibah saham dari bapak kepada anak kandung yang terkait hubungan pekerjaan dan kepemilikan dalam 1 perusahaan, sehingga atas hibah saham dan harta yang lain masih belum dikatagorikan objek pajak. Sedangkan hibah selain hibah saham tersebut, masih belum dikatagorikan sebagai objek pajak penghasilan. Misalnya bapak ingin menghibahkan uang kas atau rumah (property) kepada anak kandungnya, maka tidak termasuk objek yang dikenakan pajak penghasilan.
Namun apabila pengusaha ingin menghibahkan rumah ke adiknya (bukan anak kandung-sesuai peraturan), maka akan dikenakan pajak penghasilan dan untuk menghindari hal itu, sering dilakukan proses hibah 2 kali yakni pengusaha tersebut menghibahkan ke orang tuanya terlebih dahulu, baru kemudian orang tuanya menghibahkan ke adiknya (yang juga merupakan anak kandung orang tua tersebut).


Demikianlah pembahasan mengenai perencanaan pajak (tax planning) bagi orang pribadi, semoga dapat bermanfaat bagi pemahaman perpajakan kita terutama bagi orang pribadi yang ingin melaksanakan kewajiban pajaknya sesuai dengan ketentuan dan bagi para akademisi atau pemerhati perpajakan dapat memberikan tanggapan disertai analisa yang kuat sebagai bahan pendukung dalam pokok bahasan ini.
Akhir kata, Penulis mengharapkan kita dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan dengan baik sesuai tujuan perencanaan pajak itu sendiri dan untuk membantu pemerintah dalam pembangunan melalui pembayaran pajak yang benar.

Selasa, 22 November 2011

[detik.com] - 30 Instansi Pemerintah Tak Taat Pajak, Negara Rugi Rp 859 Miliar

ketut suastika : Oke

Selasa, 22/11/2011
30 Instansi Pemerintah Tak Taat Pajak, Negara Rugi Rp 859 Miliar
Ramdhania El Hida - detikFinance


detikcom - Jakarta, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa kepatuhan pajak kepada 30 instansi negara. Ternyata instansi negara pun tidak taat pajak dan negara dirugikan Rp 859 miliar.

Baca Lebih Detail : http://m.detik.com/read/2011/11/22/173141/1773121/4/30-instansi-pemerintah-tak-taat-pajak-negara-rugi-rp-859-miliar

Rabu, 28 September 2011

Transaksi Keuangan Dipajaki

Yth. Bapak/Ibu SOPINDO,

telah mengirimkan sebuah link berita dari Kompas.Com :

Judul : Transaksi Keuangan Dipajaki

STRASBOURG, KOMPAS.com — Para penentu kebijakan di Uni Eropa mengusulkan
pajak atas transaksi keuangan. Pemajakan ini diperkirakan akan memberikan
kontribusi pada penerimaan Uni Eropa dan negara-negara anggotanya sebesar 57
miliar euro per tahun.Namun, usul ini mendapatkan tantangan dari kalangan
perbankan yang menyebutnya sebagai langkah yang tidak masuk akal dan akan
memperlambat pertumbuhan ekonomi sekitar 1,76 persen dalam jangka
panjang.Para eks ...

Berita Selengkapnya :
http://www1.kompas.com/read/xml/2011/09/29/07523413/Transaksi.Keuangan.Dipajaki

Pesan :

Minggu, 25 September 2011

Ditjen Pajak Incar Pelaku Bisnis dan Orang Kaya


JAKARTA, KOMPAS.com - Terhitung mulai Jumat (30/9/2011) pekan depan,
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akan mulai menggelar sensus pajak
nasional. Pencacahan pajak akan berlangsung selama tiga bulan ke depan.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Fatimah Azzahra
mengatakan, sensus pajak melibatkan pemerintah daerah, Badan Pusat Statistik
(BPS), serta aparat kepolisian. Sedangkan jumlah petugas yang diterjunkan
untuk melakukan sensus sebanyak 5.980 oran ...
Berita Selengkapnya :
http://www1.kompas.com/read/xml/2011/09/25/15573691/Ditjen.Pajak.Incar.Pelaku.Bisnis.dan.Orang.Kaya

Kamis, 15 September 2011

SOPINDO SEPTEMBER 2011 : TANYA JAWAB PAJAK

Dengan hormat,
Terkait dengan adanya rencana isteri Bp AW (Ibu LN) akan melakukan hibah kepada ibunya (Ibu GN) maka ada beberapa hal yang perlu saya minta penjelasan dari SOPINDO, yaitu :
1. Ibu GN (status Janda) belum mempunyai NPWP dan sudah  berumur > 70 tahun, apakah perlu membuat NPWP sendiri mengingat tidak ada penghasilan lain kecuali bunga deposito ?
2. Karena Ibu LN masih satu NPWP dengan Pak AW, dalam Surat Keterangan Bebas dicantumkan nama siapa ? Pemilik sertifikat atau nama sesuai NPWP ?
3. Untuk mengajukan Surat Keterangan Bebas PPh apa saja yang perlu dilampirkan (sesuai PER - 30/PJ/2009 lampiran I ) ? kami sudah siap dengan copy sertifikat dan copy PBB 2011
Terima kasih atas bantu Bapak.
SOPINDO :
Yth. Pembaca SOPINDO

Maaf sebelumnya baru saya bisa membalas emailnya sehub persiapan mau pindah unit kerja.
Terkait masalah yg pak AW tanyakan, dapat dijelaskan sbb:
1. Untuk Ibu GN (penerima hibah) memang perlu berNPWP sehubungan dengan transaksi di atas 60jt (saya lupa peraturannya)
2. Untuk Ibu LN semestinya ada mekanisme NPWP keluarga pak. mungkin bisa didaftarkan dulu kalo belum.
3. Persyaratan SKB sesuai per-30 ,memang hanya melampirkan KK, SPPT PBB, Pernyataan Hibah, tapi untuk memastikan ketentuan keluarga sedarah garis keturunan lurus 1 derajat, kadang2 diminta dokumen pendukung mis. FC KTP masing2, Akte kelahiran maupun akte perkawinan dan akte hibah nila perlu.

Demikian penjelasan saya, semoga bermanfaat dan akhir kata, saya mengucapkan terima kasih atas kerjasama yg baik dg Pak AW selama ini krn sejak tgl 8 Sep besok sy sudah dilantik menjadi Widyaiswara di Balai Diklat Denpasar dan tgl 12 sudah harus bertugas di sana.
Saya sangat mengharapkan hubungan akan terus berlanjut dan salam sukses selalu.

Salam,
I Ketut Suastika
SOPINDO
www.solusipajak-info-guide.blogspot.com

Rabu, 14 September 2011

SOPINDO SEPTEMBER 2011 : PTKP DAN KEMUNGKINAN PERUBAHANNYA


I.      PENDAHULUAN

Pada awal tahun ini, tepatnya pada tanggal 1 Mei 2011, diperingati hari buruh sedunia dan sempat muncul wacana adanya perubahan regulasi perpajakan untuk kaum pekerja atau karyawan utamanya kaum buruh. Maksud dari wacana perubahan regulasi perpajakan ini adalah agar beban pajak yang ditanggung oleh kaum pekerja menjadi ringan dan wajar sesuai beban hidup mereka. Hal utama dalam wacana perubahan regulasi perpajakan tersebut mengacu pada adanya tuntutan perubahan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi ekonomi khususnya beban harga kebutuhan pokok yang sudah mengalami peningkatan. Dilatarbelakangi hal tersebut, pada kesempatan ini penulis mencoba mengupas mengenai pengenaan PTKP ini dan kemungkinan perubahannya agar masyarakat sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi dapat memahami PTKP tersebut lebih jelas dan secara umum dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik.
Pembahasan ini akan diuraikan secara mendalam dari pemahaman filosofi dan pengertian dasar PTKP sampai pada kemungkinan perubahan besaran PTKP.


II.    FILOSOFI DAN PENGERTIAN DASAR PTKP

Kalau dilihat dari filosofinya, PTKP tersebut merupakan Penghasilan Tidak Kena Pajak dan dibuat sebagai pengurang penghasilan neto WP orang pribadi untuk menghasilkan penghasilan kena pajak, sebelum dikenakan tarif PPh Psl 17 UU PPh. Dan kalau kita analogikan dengan Wajib Pajak Badan yakni sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam rangka memperoleh penghasilan untuk mempertahankan berjalannya usaha perusahaan, namun berbeda di Wajib Pajak orang pribadi, yakni biaya yang dikeluarkan untuk melangsungkan kehidupan pribadi maupun keluarga. Karena Wajib Pajak orang pribadi tersebut tidak menyelenggarakan pembukuan dan perlu adanya penyeragaman, maka ditetapkanlah adanya PTKP yang berlaku atau penerapannya sama untuk semua Wajib Pajak orang pribadi. Berbeda dengan Wajib Pajak Badan yang masing-masing Wajib Pajak memiliki jumlah biaya yang berbeda sesuai dengan kapasitas aktifitas perusahaan itu sendiri.
Nah, disinilah penekanan PTKP sebagai biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi, sehingga apabila Wajib Pajak orang pribadi tersebut nyata-nyata mengeluarkan biaya untuk kelangsungan kehidupannya lebih besar dari PTKP yang telah ditetapkan, maka dia tidak dapat mengakuinya dalam laporan pajaknya sebagai pengurang penghasilan neto. Biaya yang boleh diakui sacara fiskal oleh Wajib Pajak orang pribadi hanyalah apabila Wajib Pajak tersebut melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas dan menyelenggarakan pembukuan. Untuk Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas tanpa menyelenggarakan pembukuan akan dikenakan pajak menggunakan metode norma penghitungan penghasilan neto.
Dari uraian di atas, untuk menghindari adanya kebingungan, terdapat dua istilah yakni pertama, biaya untuk kelangsungan kehidupan yang diistilahkan sebagai PTKP dan kedua, ada pula biaya sehubungan dengan kegiatan usaha/pekerjaan bebas. Untuk biaya yang kedua, hanya sebagai pengurang dari penghasilan sehubungan dengan kegiatan usaha/pekerjaan bebasnya saja (yang menyelenggarakan pembukuan) dan Wajib Pajak ini tetap dapat mengurangkan PTKPnya dengan total penghasilan neto yang diperolehnya kemudian karena secara pribadi juga perlu mengeluarkan biaya untuk kelangsungan kehidupan pribadinya dan keluarganya.
Sebagai contoh ada Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas, melaporkan adanya rugi (dilaporkan dalam penghasilan Dalam Negeri lainnya dengan angka ‘negatif’) dan setelah ditindaklanjuti ternyata rugi tersebut sehubungan dengan Wajib Pajak memberikan modal usaha untuk orang lain tapi tidak jelas pengembaliannya. Hal ini sangat tidak diperkenankan dalam ketentuan perpajakan kita dan yang hanya boleh diakui sebagai “biaya” untuk Wajib Pajak ini hanya PTKPnya saja.


III.   PTKP DAN PERUBAHANNYA

Adapun PTKP selama ini menurut ketentuan yang berlaku, telah mengalami beberapa kali perubahan yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.    Dalam UU no. 17 Tahun 2000 pasal 7, ditentukan besarnya PTKP untuk diri sendiri Wajib Pajak orang pribadi adalah sebesar Rp. 2.880.000,- , tambahan untuk Wajib Pajak kawin sebesar Rp. 1.440.000,- , tambahan untuk istri yg berpenghasilan dan digabung dengan suami sebesar Rp. 2.880.000,- dan tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak anqkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga sebesar Rp. 1.440.000,-
2.    Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 564/PMK.03/2004 tgl 29 Nopember 2004 dan mulai berlaku di tahun pajak 2005, ditentukan besarnya PTKP untuk diri sendiri Wajib Pajak orang pribadi adalah sebesar Rp. 12.000.000,- , tambahan untuk Wajib Pajak kawin sebesar Rp. 1.200.000,- , tambahan untuk istri yg berpenghasilan dan digabung dengan suami sebesar Rp. 12.000.000,- dan tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak anqkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga sebesar Rp. 1.200.000,-
3.    Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 137/PMK.03/2005 tgl 30 Desember 2005 dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2006, ditentukan besarnya PTKP untuk diri sendiri Wajib Pajak orang pribadi adalah sebesar Rp. 13.200.000,- , tambahan untuk Wajib Pajak kawin sebesar Rp. 1.200.000,- , tambahan untuk istri yg berpenghasilan dan digabung dengan suami sebesar Rp. 13.200.000,- dan tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak anqkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga sebesar Rp. 1.200.000,-
4.    Yang terakhir dalam UU no. 36 Tahun 2008 pasal 7, ditentukan besarnya PTKP untuk diri sendiri Wajib Pajak orang pribadi adalah sebesar Rp. 15.840.000,- , tambahan untuk Wajib Pajak kawin sebesar Rp. 1.320.000,- , tambahan untuk istri yg berpenghasilan dan digabung dengan suami sebesar Rp. 15.840.000,- dan tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak anqkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga sebesar Rp. 1.320.000,-

Dalam setiap perubahan ini, selalu dipertimbangkan adanya alasan ketidaksesuaian dengan perkembangan di bidang ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat.


IV.  APAKAH MUNGKIN BERUBAH?

Berdasarkan pembahasan PTKP secara filosofi dan perkembangan perubahannya dan disandingkan pula dengan adanya tutuntan beberapa elemen masyarakat, dapat disimpulkan bahwa perubahan PTKP selanjutnya dapat dilakukan. Namun disini diperlukan banyak pertimbangan disamping memang secara nyata misalnya kebutuhan pokok kita semakin naik harganya dan semakin meningkat. Apabila dilakukan perubahan yakni menambah jumlah PTKP, yang sangat jelas pengaruhnya yakni adanya pengaruh penurunan penerimaan pajak khususnya disektor PPh orang pribadi. Pengaruh positif juga bisa diperoleh misalnya apabila PTKP dinaikkan, akan mengurangi pembayaran pajak orang pribadi dan otomatis akan menambah penghasilan yang dibawa pulang (take home pay) yang secara tidak langsung akan menaikkan daya beli orang pribadi secara khusus dan masyarakat pada umumnya dan akan mempengaruhi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai bergerak meningkat. Disinilah peran pemerintah dalam menentukan kebijakan fiskal sangat besar dan kita hanya berharap penentu kebijakan kita dapat mengambil keputusan yang baik, adil dan bermanfaat bagi khalayak masyarakat umum.
Dan secara prosedural hukum diatur bahwa penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Demikianlah pembahasan mengenai studi kasus PTKP dan kemungkinan perubahannya, semoga dapat bermanfaat bagi pemahaman perpajakan kita dan bagi para akademisi atau pemerhati perpajakan dapat memberikan tanggapan disertai analisa yang kuat sebagai bahan pendukung dalam perubahan PTKP ini. Akhir kata, Penulis mengharapkan masyarakat maupun petugas pajak dapat memahami dasar hukum dan filosofi mengenai PTKP dan mampu menerapkan dalam pengisian untuk pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dengan benar.

Kamis, 11 Agustus 2011

SOPINDO AGUSTUS 2011 : TANYA JAWAB SOPINDO

Kepada YTH,
 
Saya mau tanya tentang "HARTA HIBAH KELUARGA SEDARAH GARIS KETURUNAN LURUS SATU DERAJAT ADALAH OBJEK PPH DILIHAT DARI ASPEK HUBUNGAN USAHA, PEKERJAAN & KEPEMILIKAN"
Kasusnya:
 
PT ABC terdiri dari Tuan X (Komisaris) 60%,  Tuan Y(Direktur) 5%,  dan Tuan Z (35%).
Tuan Y anak kandung dari Tuan X
Tuan Y tdk mau meneruskan bisnis PT X dan dia menghibahkan sahamnya kepada Tuan X.
Apakah hibah atas saham tersebut menjadi object kena pajak?
 
Terima Kasih.
 
Pembaca Sopindo
 
SOPINDO :
Yth Pembaca setia Sopindo

Salam hormat dan maaf atas keterlambatan respon dari kami.
Mengenai masalah hibah saham ini, sebelumnya kami ingin tegaskan di sini bahwa saham yang dihibahkan oleh Tuan X ke anak kandingnya yakni Tuan Y adalah saham PT. X, bkn PT. ABC. Kalau memang seperti itu faktanya, disini kami dapat sampaikan bahwa:
1. Hubungan pekerjaan & kepemilikan antara Tuan X dan Tuan Y hanya jelas terlihat di PT. ABC dimana Tuan X dan Tuan Y ada hubungan pekerjaan yakni sbg komisaris dan direktur dan juga ada hubungan kepemilikan yakni sama2 memiliki saham PT. ABC.
(asumsi: untuk info PT. X tidak ada hubungan pekerjaan maupun kepemilikan krn tidak disampaikan)
2. Penegasan dari Direktorat Jenderal Pajak sampai saat ini hanya mengatur hubungan usaha pekerjaan dan kepemilikan dalam 1 perusahaan dan belum berani dengan tegas mengatur hubungan dalam perusahaan afiliasi atau anak perusahaan.
(Dalam tulisan saya, dikemukakan adanya pendapat akan perlunya penegasan dari DJP utk hubungan tidak hanya dlm 1 perusahaan tp antar perusahaan, dg tujuan hanya sebagai bahan kajian ilmiah utk kasus hibah saham, krn hubungan usaha pekerjaan dan kepemilikan juga pasti ada di antara perusahaan afiliasi dikaitkan dengan aturan perpajakan mengenai Hubungan Istimewa)
3. Oleh karena itu, apabila Tuan X menghibahkan saham yg dimiliki di PT. X (bkn di PT. ABC) ke Tuan Y, maka kasus tersebut belum dapat dikatagorikan hibah yang merupakan objek Pajak Penghasilan.
4. Namun apabila Tuan X menghibahkan saham yg dimiliki nya di PT. ABC ke Tuan Y, baru dapat dikatagorikan hibah yang merupakan objek Pajak Penghasilan.

Demikian penjelasan dari kami, semoga dapat memberikan solusi dan bermanfaat dalam menyelesaikan kasus hibah yang Bpk. Carlie tanyakan.
Sukses selalu dan kami harapkan hubungan ini terus berlanjut untuk kemajuan kita bersama dalam hal perpajakan.
Terima kasih.

Hormat kami,
 

SOPINDO AGUSTUS 2011 : TANYA JAWAB SOPINDO

Yth, SOPINDO
Baru saja saya membaca blog yang Bapak tulis. Terimakasih untuk tulisannya.
Dalam kesempatan ini, saya juga ingin minta solusi mengenai permasalahan yang sedang dihadapi,sbb :
Nama saya, Tn. ABC 80 tahun. Memiliki NPWP, tetapi karena sudah pensiun, saya sudah tidak melapor SPT lagi.Saya memberikan uang sebesar 300 juta rupiah untuk cucu saya, Sdr. XYZ umur 19 tahun untuk membeli sebuah rumah. Rumah tersebut dibeli secara tunai sebesar 260 juta.
Pertanyaan :
1. Untuk membeli rumah persyaratannya harus mempunyai NPWP, padahal cucu saya masih kuliah dan belum bekerja.Apakah harus tetap membuat NPWP ? (kalau ya, pekerjaannya harus diisi ....... apa ?) Bagaimana untuk selanjutnya pelaporan SPT ? Apa perlu ?
2. Apakah pemberian uang sebesar 300 juta rupiah dari saya ke cucu saya harus dibuatkan surat / akte hibah, atau hadiah ?  (supaya jelas kalau sewaktu-waktu ada pemeriksaan pajak)
Demikian pertanyaan kami.
Terima kasih untuk solusinya.
Pembaca Sopindo

SOPINDO:
Yth. Pembaca Setia Sopindo

Terima kasih atas kunjungannya ke blog saya dan mohon maaf baru bisa balas email Bapak.
Untuk kasus yang Bapak tanyakan, dapat saya jelaskan bahwa:
1. Dalam dokumen Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan memang diwajibkan mengisi data NPWP dan ini pertimbangannya bahwa setiap Wajib pajak yang membeli property telah dianggap memperoleh penghasilan. Untuk ketentuan umum yang wajib NPWP adalah Wajib Pajak yang telah memperoleh penghasilan lebih dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yakni utk diri sendiri (belum nikah) Rp 15.840.000,- Dalam hal ini, cucu Bpk dikatagorikan memperoleh penghasilan melebihi PTKP sehingga secara tidak langsung wajib NPWP. Nah, utk pekerjaan, yang sedikit membingungkan, sehubungan masih status mahasiswa dan yg ada di ketentuan hanya kelompok pengawai negeri, TNI/Polri, pengawai BUMN/BUMD, pegawai swasta, namun dlm kode klasifikasi lapangan usaha utk cucu Bpk mungkin bs dimasukkan ke 95005 yaitu keterangannya: pegawai lepas lainnya yakni mencakup kegiatan perorangan yang memberikan jasa dan tidak termasuk dalam kelompok pegawai di atas.
Untuk pelaporan SPT, kalo dia sudah memiliki NPWP maka konsekuensinya wajib melaksanakan pelaporan SPT, termasuk kewajiban untuk Bapak sendiri, sebenarnya masih wajib lapor SPT biarpun telah pensiun krn masih memperoleh penghasilan berupa uang pensiun, misnya.
2. Untuk pemberian uang dari Bapak ke cucu dalam rangka pembelian rumah, ini sesuai ketentuan dikatagorikan hibah yang merupakan objek pajak (PPh) yakni bagi cucu Bpk ini merupakan penghasilan. Ketentuannya yg bukan objek pajak adalah hibah dari keluarga sedarah garis keturunan lurus 1 derajat yakni dari bapak kandung ke anak kandung, atau sebaliknya dari anak ke bapak kandung. Sedangkan kasus Bpk, hibah itu langsung dari Bapak (kakek) ke cucu bapak (bkn ke anak Bpk) yang tidak masuk ketentuan bukan objek pajak. Ini juga salah satu kriteria cucu Bpk wajib NPWP, karena dianggap dapat penghasilan berupa hibah dari kakeknya. Sebenarnya hal ini bisa diakalin, misalnya dibuatkan akta hibah dari bapak ke anak bpk terlebih dahulu, baru dibuatkan kembali akta hibah dari anak bapak (bpk kandung cucu) ke cucu Bpk.

Demikian penjelasan saya, semoga bermanfaat. Sekali lg mohon maaf atas keterlambatan respon emailnya.

Salam,

SOPINDO

www.solusipajak-info-guide.blogspot.com

SOPINDO AGUSTUS 2011 : TANYA JAWAB SOPINDO

Dear Sopindo,

Mohon Koreksi SPT Masa 1111 DM; Keterangan Wajib Pajak tersebut mengunakan Norma Perhitungan dalam SPT Tahunan 2010 dan 2011 nya,....
Usaha Dagang ATK; PKP melayani bendahara pemunggut PPN ( PPN sudah disetor dan diberikan SSP lampiran 3)- dan Pembeli Umum....Bagaimanakah perlakuan tata cara pengisian SPT masa 1111 DM yang benar,
apabila pembelian pemunggut digabung dengan total pembelian oleh pembeli umum.....

Data terlampir pada email ini....
Thank You,

Pembaca

SOPINDO :
Yth. Pembaca Setia Sopindo

Seperti yang saya utarakan sebelumnya bahwa konsep pengkreditan pajak masukan untuk usaha dengan omzet tertentu itu terkesan final yakni dari seluruh penjualan dianggap ada Pajak Keluarannya dan disetor ke kas negara oleh PKP sendiri sebesar neto 3%.
Hal ini jangan sampe membuat bingung dg adanya pajak yg disetor oleh pemungut PPN atau PPN yang kita pungut dr pembeli umum. Pajak ini merupakan pajak yang harus disetor oleh PKP maupun pemungut (pajak Keluaran) dan bukan pajak yang berfungsi sebagai kredit pajak (Pajak Masukan) yg bisa membuat kondisi Lebih Bayar.
Begitu PKP menggunakan metode pengkreditan ini, berarti harus menerima konsekuensi kurang bayar, kecuali ada kesalahan dalam pembayaran kurang bayar tersebut sehingga bisa lebih bayar.
Masalah lebih bayar utk kondisi normal tidak akan terjadi di metode ini.

Jika kita lihat dalam pembukuan, Pajak yang dipungut dan disetor oleh pemungut tidak akan berpengaruh krn dibukukan tanpa ppn, sedangkan pajak yg kita pungut dr pembeli biasa akan kita bukukan pada sisi kredit. Dalam pembukuan juga kita pasti akan membukukan pajak yg telah kita bayar ke PKP penjual dr apa yg selama ini kita beli. Dan (dlm pembukuan saja) apabila total pajak yg kita pungut alias PK, kita sandingkan dg pajak yg kita bayar ke penjual (PM), PK tersebut lebih besar dr PM yg kita bayar, atas kelebihan itu kita bisa anggap sebagai penghasilan lain-lain. Mis. Total penjualan 150jt dg total PK yg kita pungut dr pembeli 10jt (tidak termasuk PK dr pemungut 5jt), total PM yg kita bayar 5jt, terus pake metode ini harus setor PKnya ke kas negara (30% X 10jt) 3jt, maka akan ada kelebihan pajak yg kita pungut (PK) sebesar 2Jt (10jt-5jt-3jt) dan ini bisa kita akui sbg penghasilan.

Jadi kalo dilihat dari kasus Bpk, total penjualan ke pemungut ditambah ke pembeli umum dimasukkan dalam SPT baik di lampiran 1111 A DM maupun induk 1111 DM.
Sebagai tambahan informasi:
Transaksi penjualan ke pemungut paling banyak 1jt (PPN 100rb) menggunakan mekanisme pemungutan biasa yakni PPN dipungut oleh PKP sendiri dan untuk traksaksi ke pembeli umum tetap menerbitkan Faktur Pajak namun data pembeli boleh tidak dicantumkan. Jadi data pembeli umum juga mesti dilaporkan di lampiran 1111 A DM krn ada Faktur Pajaknya.

Demikian penjelasan dari saya, semoga bermanfaat dan terima kasih telah mengunjungi blog SOPINDO.


Salam,

SOPINDO
www.solusipajak-info-guide.blogspot.com

Senin, 08 Agustus 2011

SOPINDO AGUSTUS 2011 : PERENCANAAN PAJAK UNTUK ORANG PRIBADI

NANTIKAN.....
PENERBITAN ARTIKEL
TAX PLANNING FOR INDIVIDUAL TAXPAYERS
(PERENCANAAN PAJAK UNTUK ORANG PRIBADI)

BERGUNA UNTUK BAHAN ANALISA DALAM PELAKSANAAN PERPAJAKAN KITA SEBAGAI WAJIB PAJAK KEPADA NEGARA DALAM KORIDOR PERATURAN PERPAJAKAN YANG BERLAKU.

Sabtu, 14 Mei 2011

detikfinance : Konsultan Pajak Lokal Bisa Dilibas Pemain Asing

SEKILAS INFO PAJAK :


Konsultan Pajak Lokal Bisa Dilibas Pemain Asing

detikfinance - Konsultan pajak mewanti-wanti persaingan ketat antara konsultan pajak lokal dengan asing. Pada tahun 2015, saat dibentuknya masyarakat ekonomi ASEAN, konsultan pajak asing bebas leluasa masuk. ... (Read more..)



Senin, 02 Mei 2011

detikfinance : Pajak untuk WNI Bekerja di LN

SEKILAS INFO PAJAK :


Pajak untuk WNI Bekerja di LN

detikfinance - Penghasilan WNI yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari, tidak dikenakan pajak untuk penghasilan yang diterima dari LN. Bagaimana penjabarannya? ... (Read more..)



Kamis, 28 April 2011

detikfinance : Deadline SPT Perusahaan, Kantor Pajak Lembur di Hari Sabtu

SEKILAS INFO PAJAK :


Deadline SPT Perusahaan, Kantor Pajak Lembur di Hari Sabtu

detikfinance - Demi menunggu perusahaan melaporkan SPT pajaknya hingga batas akhir di 30 April 2011, seluruh kantor pajak bakal lembur buka hingga Sabtu (30/4/2011). ... (Read more..)



Kamis, 21 April 2011

LAYANAN PAJAK 2011

DIINGATKAN KEMBALI...!

BATAS WAKTU PENYAMPAIAN 
SPT PPH BADAN TAHUN PAJAK 2010
TANGGAL 30 APRIL 2011

COME AND JOIN THIS BLOG
FOR INDONESIAN TAX SOLUTION
sueztika@gmail.com

Rabu, 20 April 2011

detikfinance : Laporan SPT Tinggi, Setoran Pajak Belum Tentu

SEKILAS INFO PAJAK:


Laporan SPT Tinggi, Setoran Pajak Belum Tentu

detikfinance - Jumlah laporan SPT pajak PPh orang Pribadi tahun pajak 2010 meningkat tajam. Namun Dirjen Pajak Fuad Rahmany ragu penerimaan negara meningkat tajam, meski laporan SPT meningkat tajam. ... (Read more..)



Senin, 18 April 2011

PENERIMAAN WIDYAISWARA KEMENTERIAN KEUANGAN 2011

Telah DIBUKA Penerimaan Widyaiswara di Kementerian Keuangan RI tahun 2011.
Bagi yang BERMINAT dan memenuhi Kualifikasi, agar segera mendaftarkan diri ke Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan RI.
Paling Lambat 30 Juni 2011.
Silahkan lihat di sini !!!

Sabtu, 16 April 2011

SOPINDO APRIL 2011 : PERLAKUAN PPN UNTUK PENGUSAHA TOKO EMAS PERHIASAN



I.      PENDAHULUAN
Hampir sebagian besar Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bergerak di bidang penjualan emas perhiasan merupakan pengusaha perorangan atau orang pribadi. Di kalangan pengusaha toko emas perhiasan tersebut telah lama menjadi pemahaman mereka bahwa PPN yang harus dibayar oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan sebesar 10% X 20% X jumlah seluruh penyerahan emas perhiasan atau netonya 2% dari jumlah penyerahan adalah juga merupakan jumlah yang harus dipungut dari Pembeli atau konsumen. Bahkan sering kita temui mekanisme pemungutan melalui penerbitan Faktur Pajak oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan adalah dengan mencantumkan pada baris PPN yang dipungut sebesar 2% dan sampai saat ini juga masih diterapkan.
Seiring dengan dikeluarkannya peraturan perpajakan mengenai perlakuan PPN atas penyerahan oleh pengusaha toko emas perhiasan yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu, para pelaku usaha toko emas perhiasan ini mulai menyadari akan kesalahan praktek pemungutan PPN yang selama ini mereka terapkan. Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba membahas penerapan ketentuan perpajakan yang benar mengenai perlakuan PPN untuk PKP toko emas perhiasan.

II.    DASAR HUKUM DAN PEMAHAMAN DASAR
Sebelum berlakunya PMK No. 79/PMK.03/2010, PKP toko emas perhiasan melandasi usahanya dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 83/KMK.03/2002 tentang PPN atas penyerahan emas perhiasan oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan. Namun PMK no. 79 tersebut tidak serta merta mencabut KMK No. 83 tersebut. Oleh karena itu, kedua ketentuan tersebut masih dapat dijadikan landasan hukum dan penulis dapat mengambil poinnya bahwa KMK-83 tahun 2002 tersebut pada dasarnya lebih banyak mengatur mengenai mekanisme pemungutan dan pembayaran/penyetoran PPN terutang, sedangkan PMK-79 tahun 2010 pada dasarnya mengatur mengenai mekanisme pengkreditan Pajak Masukan oleh PKP toko emas perhiasan dalam rangka kewajiban pelaporan PPN.
Selanjutnya dibawah ini diuraikan beberapa poin yang diatur dalam kedua ketentuan hukum tersebut di atas yakni sbb:
1.    Yang dimaksud dengan Pengusaha Toko Emas Perhiasan adalah orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dibidang penyerahan emas perhiasan, berdasarkan pesanan maupun penjualan langsung, baik hasil produksi sendiri maupun pihak lain, yang memiliki karakteristik pedagang eceran. Perlu ditekankan bahwa PMK-79 kemudian tidak memberikan definisi yang memberikan penekanan hanya pada orang pribadi, sehingga kemungkinan PKP dalam bentuk badan pada era saat ini bisa juga melakukan usaha toko emas perhiasan. PMK-79 hanya menyatakan bahwa PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN.
2.    Emas Perhiasan adalah perhiasan dalam bentuk apapun yang bahannya sebagian atau seluruhnya dari emas dan atau logam mulia lainnya, termasuk yang dilengkapi dengan batu permata dan atau bahan lain yang melekat atau terkandung dalam emas perhiasan tersebut.
3.    Pengusaha Toko Emas Perhiasan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
4.    Atas penyerahan Emas Perhiasan oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dari harga jual emas perhiasan.
5.    Pengusaha Toko Emas Perhiasan yang melakukan penyerahan Emas Perhiasan wajib membuat Faktur Pajak, memungut, dan menyetor Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, serta melaporkannya pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
6.    PKP selain menggunakan mekanisme penghitungan normal PPN terutang melalui Pajak Keluaran dikurangi Pajak Masukan, Pengusaha Toko Emas Perhiasan dapat menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan cara sebagai berikut:

a. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Emas Perhiasan oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan adalah sebesar 10% X Harga Jual Emas Perhiasan;
b. Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan adalah sebesar 10% X 20% X jumlah seluruh penyerahan Emas Perhiasan.

Ini mengandung pengertian bahwa PPN terutang yang dipungut dari konsumen akhir adalah 10% dari harga jual, namun pembayaran/penyetoran oleh PKP toko emas perhiasan hanya 20% dari pemungutan yang telah dibebankan ke konsumen.
Hal inilah yang membuat kesalahpahaman penerapan oleh kalangan pengusaha toko emas perhiasan dimana mereka beranggapan bahwa pemungutan PPN terutang dari konsumen dapat di-neto-kan menjadi 2% dan langsung disetor ke kas negara dari jumlah tersebut sehubungan tidak diaturnya mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dalam pelaporan SPT PPN-nya.
7.    Di tahun 2010 inilah, perlakuan PPN terutang menjadi lebih jelas dengan diberlakukannya PMK-79 yang mengatur bahwa besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran dan dengan demikian PPN terutang yang harus disetor oleh PKP menjadi sebesar 20% dari 10% yang telah dipungut dari konsumen yakni sebesar 2% dari harga jual.
8.    PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan PMK-79 ini tidak dapat membebankan PPN atas perolehan BKP dan/atau JKP (atau Pajak Masukannya) sebagai biaya untuk penghitungan Pajak Penghasilan. Dasar pemikirannya adalah bahwa berapapun Pajak Masukan yang telah dibayarkan, untuk PKP toko emas perhiasan sudah dianggap mengkreditkan Pajak Masukannya melalui mekanisme 80% dari Pajak Keluarannya.
9.    PKP toko emas perhiasan hanya dapat menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan sesuai PMK-79 dan tidak diperkenankan menggunakan mekanisme penghitungan PPN normal serta berapapun jumlah peredaran usahanya.

III.   PERLAKUAN PPN DAN METODE PENCATATAN/PEMBUKUAN
Berdasarkan dasar hukum dan dasar pemahaman di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa perlakuan PPN untuk PKP toko emas perhiasan yang benar adalah :
1.    PPN terutang yang dipungut dari konsumen akhir adalah 10% dari harga jual;
2.    Atas Pajak Masukan yang telah dibayar atas perolehan BKP dan/atau JKP, penghitungannya menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan yaitu 80% dari Pajak Keluaran;
3.    PPN terutang yang harus disetor adalah sebesar 20% dari 10% Pajak Keluaran yakni netonya sebesar 2% dari seluruh penyerahan;
4.    Atas Pajak Masukan yang nyata telah dibayar atas perolehan BKP dan/atau JKP tidak dapat dibebankan sebagai biaya untuk penghitungan Pajak Penghasilan.
Kalau kita terapkan perlakuan PPN tersebut dalam metode pencatatan/pembukuan, tidaklah menjadi suatu hal yang membingungkan bagi pengusaha toko emas andaikan apa yang telah berlaku umum sesuai PSAK dipakai sebagai metode pencatatan. Pertanyaan yang sering muncul dalam hal ini adalah bagaimana pencacatan untuk Pajak Masukan yang nyata telah dibayar mengingat tidak diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya. Secara umum kalau boleh kita kutip kembali bahwa jika pengusaha menyelenggarakan pembukuan, pajak yang telah dibayar (aktiva pajak kini) pada akhir periode (masa maupun tahunan) akan disandingkan (di-offset) dengan pajak yang menjadi kewajiban pengusaha (kewajiban pajak kini) sehingga netonya akan disajikan di neraca apakah lebih bayar atau kurang bayar. Untuk konsep PPN, Pajak Masukan pada akhir periode akan di-offset dengan Pajak Keluaran yang akan menghasilkan lebih bayar atau kurang bayar dan untuk Pajak Masukan yang tidak berhubungan dengan usaha (Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan), meskipun tidak diatur dalam UU PPN, secara umum dibebankan sebagai biaya di pembukuan pengusaha.
Jadi ketentuan bahwa Pajak Masukan yang nyata telah dibayar tidak boleh dibebankan sebagai biaya bagi PKP toko emas perhiasan, memang seharusnya begitu karena secara umum Pajak Masukan yang seharusnya dikreditkan tersebut (yang dianggap sudah dikreditkan dalam komponen 80% dari Pajak Keluaran), dicatat sebagai aktiva (bukan biaya) dan pada akhir periode disandingkan dengan Pajak Keluaran yang telah dipungut dari konsumen (dalam hal ini full 10% dari harga jual) dikurangkan Pajak Keluaran yang sesuai ketentuan harus disetor sebesar 2% dari seluruh penyerahan, maka apabila netonya terdapat sisa Pajak Keluaran setelah 2% yang menjadi kewajiban telah disetor, atas sisa tersebut selayaknya dicatat sebagai pendapatan lain-lain dalam laporan keuangan.
Misalnya, Pajak Keluaran yang dipungut sebesar Rp. 100.000.000 (1M seluruh penyerahan x 10%PPN) dan Pajak Masukan yang telah dibayar Rp. 70.000.000, sedangkan PPN yang harus disetor adalah sebesar Rp. 20.000.000 (2% dr seluruh penyerahan), maka masih terdapat sisa Pajak Keluaran pada posisi kredit sebesar Rp. 10.000.000 yang selayaknya dianggap sebagai pendapatan lain-lain dalam laporan keuangan, dengan menjurnal balik (sekaligus menghapus komponen PPN dalam neraca) yakni debit sisa Pajak Keluaran pada kredit Pendapatan Lain-lain.
Dasar pemikiran bahwa Pajak Masukan yang dikreditkan hanya 80% dari Pajak Keluaran, menurut penulis mungkin disebabkan bahwa bahan baku utama dalam pembuatan emas perhiasan sebagian besar berasal dari emas batangan yang tidak terutang PPN, dari pada bahan baku yang berasal dari daur ulang emas perhiasan lama, sehingga dianggap bahwa Pajak Masukan toko emas perhiasan tidak akan lebih besar dari Pajak Keluarannya

IV.  PENUTUP
Demikianlah topik yang penulis bahas untuk menjadi bahan pedoman dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan khususnya PPN bagi pengusaha toko emas perhiasan. Disadari pula bahwa pembahasan ini masih jauh dari kesempurnaan dan dimohon sumbangsih pemikiran dan pendapatnya untuk menyempurnakan topik perlakuan PPN untuk PKP toko emas perhiasan ini.

Rabu, 13 April 2011

SOPINDO APRIL 2011 : KONSEP PENGHITUNGAN PAJAK BAGI WANITA KAWIN


I.      PENDAHULUAN
Sering kita jumpai di lingkungan kita sendiri maupun di lingkungan masyarakat permasalahan kewajiban perpajakan bagi wanita yang telah menikah. Pemahaman awal kebanyakan orang mengenai penghitungan pajak untuk wanita menikah/kawin terutama bagi wanita kawin yang memiliki NPWP sendiri (berarti memilih untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri terpisah dari suami) bahwa penghitungan pajaknya dilakukan secara terpisah didasarkan pada masing-masing penghasilan neto yang diperoleh suami maupun istri.
Belakangan ini, pemahaman awal tersebut berubah menjadi kebingungan dan bahkan keresahan sehubungan adanya penekanan ketentuan mengenai penghitungan pajak bagi wanita kawin yang benar menurut Pasal 8 ayat (3) UU PPh. Bagi keluarga yang istrinya sudah terlanjur memiliki NPWP sendiri terpisah dari suami akibat bawaan sebelum menikah atau adanya pendaftaran NPWP yang dilakukan melalui perusahaan tempat wanita tersebut bekerja, akan berakibat timbulnya tambah bayar yang cukup material di saat penghitungan PPh tahunan baik bagi suami maupun istrinya untuk penghasilan dengan jumlah tertentu. Hal ini disebabkan karena penghasilan neto yang dipakai untuk penghitungan pajak bagi keluarga yang istrinya memiliki NPWP sendiri sesuai dengan ketentuan adalah gabungan penghasilan neto suami dan istri.

II.    KONSEP PENGHITUNGAN PAJAKNYA
Untuk lebih jelas pemahaman mengenai penghitungan pajak bagi wanita kawin tersebut, penulis mencoba menguraikan secara sistematis dan sederhana, yakni berdasarkan kondisi sebagai berikut :
1.    Wanita Kawin mempunyai NPWP sendiri
Ada kewajiban bagi istri untuk melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, disamping kewajiban yang telah dilakukan oleh suami.
Ini berarti wanita/istri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. Cara penghitungan pajaknya adalah menggabungkan penghasilan neto suami dan istri untuk dikenakan pajak dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-istri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
Kondisi ini, sama cara penghitungannya dengan kondisi suami istri yang mengadakan perjanjian pisah harta maupun penghasilan dan tidak lagi melihat  sumber penghasilan istri apakah dari 1 pemberi kerja atau lebih, apakah dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Dalam artian, seluruh penghasilan neto istri yang merupakan objek pajak kecuali penghasilan yang dikenakan pajak final, digabungkan dengan penghasilan neto suami dalam menghitung pajaknya.
Hasil penghitungan pajak melalui penggabungan penghasilan neto suami istri tersebut, dilaporkan di masing-masing SPT Tahunan Orang Pribadi suami maupun istri.
Adapun cara penghitungannya dapar dijelaskan seperti contoh sbb :
Tahun 2010, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia yang memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak. Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.566.122.2-012.000) juga bekerja di PT. Gabung Jaya dan memperoleh penghasilan neto selama tahun 2010 sebesar Rp. 40.000.000,- Disamping bekerja, Ny. Soimah juga membuka usaha salon kecantikan yang beromzet Rp. 200.000.000,00 (norma penghasilan neto salon kecantikan 30%).
Cara penghitungan pajak terutangnya adalah :
-       Penghasilan neto Tn. Joko…………….Rp.   60.000.000
-       Penghasilan neto Ny. Soimah:
Ø  Dari PT. Gabung Jaya……...…Rp. ..40.000.000
Ø  Dari usaha salon 
(200.000.000X30%).......................Rp. ..60.000.000
Total penghasilan neto Ny. Soimah...Rp. 100.000.000
-       Total penghasilan neto suami-istri.….Rp. 160.000.000
-       Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/I/1).Rp.  .34.320.000
-       Penghasilan Kena Pajak………………Rp. 125.680.000
-       Pajak terutang:
5%   x Rp. 50.000.000  = Rp.   2.500.000
15% x Rp. 75.680.000  = Rp. 11.352.000
.............................……………………….Rp.   .13.852.000
-       Pajak terutang bagian suami :
  60.000.000   X 13.852.000  =  Rp. 5.194.500
160.000.000
-       Pajak terutang bagian istri :
100.000.000  X  13.852.000  =  Rp. 8.657.500
        160.000.000

Cara pelaporan di SPT tahun pajak 2010:
SPT Tn. Joko:
-       Penghasilan neto………………Rp. 60.000.000
-       PTKP…………………………...(dikosongkan)
-       Penghasilan Kena Pajak……...(dikosongkan)
-       Pajak terutang………………… Rp.  5.194.500
(lampiran penghitungan tersendiri)
-       Pajak yang telah dipotong…….Rp.  2.076.000 
(pemotongan oleh PT benar)
-       Pajak Kurang Bayar…………...Rp. 3.118.500
-       PPh Pasal 25………………….. Rp                0
-       Pajak yg masih harus dibayar..Rp. 3.118.500

SPT Ny. Soimah:
-       Penghasilan neto………………Rp.100.000.000
-       PTKP…………………………...(dikosongkan)
-       Penghasilan Kena Pajak……...(dikosongkan)
-       Pajak terutang………………… Rp.  8.657.500 
(lampiran penghitungan tersendiri)
-       Pajak yang telah dipotong…….Rp.  1.208.000 
(pemotongan oleh PT benar)
-       Pajak Kurang Bayar…………...Rp. 7.449.500
-       PPh Pasal 25………………….. Rp                 0
-       Pajak yg masih harus dibayar..Rp. 7.449.500

           
2.    Wanita Kawin NPWP ikut Suami
Wanita kawin/istri tidak memiliki kewajiban melaporkan SPT sendiri.
a.    Sumber penghasilan istri hanya dari 1 pemberi kerja
Bila istri ikut NPWP suami alias mempunyai NPWP dengan kode cabang suami (3 digit terakhir 999) dan sumber penghasilannya hanya dari bekerja di 1 perusahaan, maka atas penghasilannya tidak digabungkan dengan penghasilan neto suami dalam penghitungan pajak terutang, namun atas penghasilan istri dan pajak yang telah dipotong perusahaan dianggap final dan dilaporkan di SPT Tahunan Orang Pribadi suami di Lampiran III Bagian A angka 15 SPT 1770 atau Lampiran II Bagian A angka 13 SPT 1770 S.
Contoh penghitungannya:
Tahun 2010, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia yang memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak. Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.564.344.9-012.999) juga bekerja di PT. Gabung Jaya dan memperoleh penghasilan neto selama tahun 2010 sebesar Rp. 40.000.000,-
Cara penghitungan pajak terutangnya dan pelaporan di SPT suami adalah :
SPT Tn. Joko:
-       Penghasilan neto………………Rp. 60.000.000
-       PTKP (K/1)…………………….....Rp. 18.480.000
-       Penghasilan Kena Pajak……....Rp. 41.520.000
-       Pajak terutang………………….. Rp.  2.076.000 
(lampiran tersendiri penghitungan)
-       Pajak yang telah dipotong……..Rp.  2.076.000 
(pemotongan oleh PT benar)
-       Pajak Kurang Bayar…………....Rp.              0
-       PPh Pasal 25…………………..  Rp               0
-       Pajak yg masih harus dibayar...Rp.              0
(Penghasilan bruto istri dan pajak terutangnya dilaporkan di lampiran penghasilan yang dikenakan pajak Final)

b.    Sumber penghasilan istri lebih dari 1 pemberi kerja dan/atau punya kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Bila istri ikut NPWP suami alias mempunyai NPWP dengan kode cabang suami (3 digit terakhir 999) dan sumber penghasilannya dari bekerja di lebih dari 1 perusahaan dan/atau mempunyai kegiatan usaha/pekerjaan bebas, maka atas penghasilannya digabungkan dengan penghasilan neto suami dalam penghitungan pajak terutang dan hampir sama penghitungannya dengan kondisi istri memiliki NPWP sendiri, namun pelaporannya tetap di 1 SPT yaitu SPT suami (bukan lampiran tersendiri)
Contoh penghitungannya:
Tahun 2010, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia yang memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak. Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.564.344.9-012.999) juga bekerja di PT. Gabung Jaya dan memperoleh penghasilan neto selama tahun 2010 sebesar Rp. 40.000.000,- Disamping bekerja, Ny. Soimah juga membuka usaha salon kecantikan yang beromzet Rp. 200.000.000,00 (norma penghasilan neto salon kecantikan 30%).
Cara penghitungan pajak terutangnya dan pelaporan di SPT suami adalah :
SPT Tn. Joko:
-       Penghasilan neto:
Penghasilan neto suami…………………Rp.  60.000.000
Penghasilan neto istri…………………….Rp.  40.000.000
Penghasilan usaha salon……………….Rp.  60.000.000 
(Rp. 200.000.000 x 30%)
Total penghasilan neto………………......Rp. 160.000.000
-       PTKP (K/I/1)…………………………..…....Rp. 34.320.000
-       Penghasilan Kena Pajak………………..Rp. 125.680.000
-       Pajak terutang :
-       5%   x Rp. 50.000.000 =Rp.   2.500.000
-       15% x Rp. 75.680.000 =Rp. 11.352.000..Rp. 13.852.000

-       Pajak yang telah dipotong………………...Rp.  3.284.000
-       Pajak Kurang Bayar……………………......Rp.10.568.000
-       PPh Pasal 25………………………………                     0
-       Pajak yg masih harus dibayar……….…..Rp.10.568.000

3.    ANALISA TAX PLANNING
Melihat beberapa contoh di atas, dapat dikatakan bahwa timbulnya kurang bayar pajak pada penghitungan tahunan sangatlah besar sehubungan adanya ketentuan penggabungan penghitungan penghasilan neto suami dan istri dengan beberapa kondisi.
Apabila dalam sebuah keluarga dengan kondisi istri hanya bekerja di 1 perusahaan saja dan melihat ketentuan bahwa ikut NPWP suami, penghitungannya dianggap Final, maka untuk mencegah timbulnya kurang bayar akibat penggabungan penghitungan tersebut, alangkah baiknya sang istri ikut NPWP suami dari pada memiliki NPWP sendiri.
Hal ini perlu ditegaskan oleh penulis, mengingat banyaknya kondisi seperti ini di masyarakat kita dan apabila istri telah ber-NPWP maka sebaiknya segera dibuatkan surat permohonan pencabutan dengan pertimbangan ikut NPWP suami.
Di lain pihak, apabila kondisi sebuah keluarga dimana istri bekerja lebih dari satu perusahaan atau mempunyai kegiatan usaha/pekerjaan bebas, maka istri memiliki NPWP sendiri maupun ikut NPWP suami merupakan opsi yang sama. Namun di masyarakat, untuk istri yang memiliki NPWP sendiri, sering kita temui bahwa keluarga yang tidak mengadakan perjanjian pisah harta dan penghasilan mengalami kesulitan dalam pelaporan harta di SPT masing-masing, mengingat pengeluaran keluarga masih campur aduk antara suami dan istri. Misalnya istri yang memperoleh penghasilan di suatu tahun pajak sebesar Rp. 40.000.000,- namun membeli harta berupa kendaraan seharga Rp. 60.000.000,- yang sebagian uangnya dibantu oleh suami, akan menjadi bahan pertanyaan petugas pajak bahwa apakah wajar dengan penghasilan sebesar Rp. 40.000.000,- mampu membeli kendaraan sebesar Rp. 60.000.000,-. Memang hal itu akan dapat dijelaskan secara detail apabila pencatatan suami maupun istri dilakukan dengan benar, namun alangkah lebih praktisnya apabila pelaporan harta itu digabungkan di dalam 1 SPT melalui mekanisme istri ikut NPWP suami.

Demikianlah uraian yang penulis coba angkat, mengingat hal ini sering terjadi di masyarakat dan diharapkan dapat menjadi panduan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan di masyarakat.