SOLUSI PAJAK INDONESIA ( SOPINDO)

SOLUSI PAJAK INDONESIA ( SOPINDO) :
HADIR DI INDONESIA UNTUK MEMBERIKAN INFORMASI DAN SOLUSI PERPAJAKAN BAGI SELURUH LAPISAN MASYARAKAT

Rabu, 09 Maret 2011

REVIEW PERATURAN PERPAJAKAN

PENGUKUHAN PKP UNTUK ORANG PRIBADI YANG MELAKUKAN PENYERAHAN JASA SEWA TANAH DAN/ATAU BANGUNAN, PERLUKAH?

SEBUAH STUDI KASUS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

I. PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan reformasi perpajakan melalui perubahan peraturan perundang-undangan perpajakan, sering kita temui berbagai permasalahan di masyarakat yang berkaitan dengan perpajakan, seperti yang coba penulis angkat yaitu permasalahan yang terkait dengan kewajiban pengukuhan PKP bagi orang pribadi yang berstatus sebagai direksi/karyawan yang menerima penghasilan dari suatu badan usaha atau pemberi kerja namun juga melakukan penyerahan BKP/JKP.

Materi ini coba penulis angkat mengingat munculnya kebingungan di masyarakat akan aspek yang terkait dengan PKP dan juga bagi petugas pajak sendiri yang perlu penegasan sehubungan peraturan perpajakan mengenai kewajiban PKP tidak secara tegas mengatur tentang subjek PPN orang pribadi.

Pembahasan ini akan lebih tertuju pada aspek yuridis, aspek administrasi PPN itu sendiri yang disertai pemaparan beberapa contoh kasus di masyarakat.

II. STUDI KASUS DI KPP WAJIB PAJAK BESAR ORANG PRIBADI (KPP HWI)

Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak awal Mei 2009 telah berdiri KPP yang khusus melayani dan mengadministrasikan Wajib Pajak Orang Pribadi Kaya. Proyek perdana Direktorat Jenderal Pajak ini memiliki kriteria Wajib Pajak Orang Pribadi pemegang saham di beberapa perusahaan besar dan ber-KTP di Jakarta. Setelah berjalan hampir 2 tahun ini, banyak sekali permasalahan perpajakan baik PPh maupun PPN yang muncul seiring pelayanan konsultasi dan pengawasan oleh Account Representative (AR) terhadap Wajib Pajak (kebetulan penulis saat ini bekerja sebagai AR di KPP tersebut). Hal ini lebih disebabkan sampai saat ini peraturan perpajakan masih sangat kental berkaitan dengan permasalahan Wajib Pajak Badan dan belum tegas menjelaskan aspek yang terkait dengan Wajib Pajak orang pribadi. Penulis sangat memaklumi keadaan yang terjadi, mengingat selama ini, DJP dalam menyiapkan regulasi perpajakan hanya memprioritaskan pada Wajib Pajak Badan dan baru pada era Reformasi Pajak Tahap Kedua ini, konsep rencana dan grand strategy DJP juga memprioritaskan pelayanan dan pengawasan Wajib Pajak orang pribadi. Strategi ini diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pajak dari Wajib Pajak orang pribadi yang selama ini porsi penerimaan dari WP orang pribadi masih sangat kecil. Sangat berbeda jika kita perhatikan hal yang sama pada Negara maju seperti Amerika yang pencapaian penerimaan pajak dari orang pribadinya sangat signifikan.

Adapun permasalahan yang penulis angkat berawal dari banyaknya WP di KPP HWI yang menerima penghasilan dari sewa property atau tanah dan/atau bangunan yang dimilikinya dan PPh-nya dikenakan secara final baik dipotong oleh pihak penyewa maupun dibayar sendiri oleh WP. Pelaporan mengenai hal tersebut diketahui melalui SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang diadministrasikan di KPP HWI maupun yang baru dilaporkan untuk tahun pajak 2009 setelah KPP HWI berdiri. Kalau kita kaitkan dengan aspek PPN, maka secara objektif, sewa tanah dan/atau bangunan sebagai objek PPN telah terpenuhi yaitu penyerahan sewa tanah dan/atau bangunan tersebut merupakan Jasa Kena Pajak dan secara subjektif sesuai ketentuan yang ada yang mengatur tentang kewajiban pengukuhan PKP bagi WP orang pribadi tersebut telah terpenuhi yaitu omzet atas persewaan tersebut telah melebihi Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta Rupiah) dalam jangka waktu satu tahun. Atas dasar tersebut, AR banyak mengirimkan surat himbauan kepada Wajib Pajak orang pribadi ini agar segera mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP. Namun setelah banyaknya tanggapan sebagai respon dari Wajib Pajak atas surat himbauan dari KPP tersebut, maka muncul keraguan dalam menerapkan ketentuan mengenai pengukuhan PKP terhadap Wajib Pajak orang pribadi ini karena adanya permasalahan sebagai berikut:

1. Pekerjaan WP orang pribadi hanya berstatus sebagai direksi atau karyawan perusahaan, sehingga menimbulkan kerancuan apakah orang pribadi ini bisa disebut sebagai pengusaha sesuai UU PPN.

2. Penyerahan sewa yang dilakukan oleh WP hanya insidentil atau tidak rutin;

3. Sulitnya WP orang pribadi melaksanakan adminitrasi PPN bila telah dikukuhkan sebagai PKP sehubungan banyak orang pribadi belum menyelenggarakan pembukuan.

4. Apabila telah dikukuhkan sebagai PKP dan WP menjual harta tanah dan/atau bangunannya tersebut, apakah terkait dengan Pasal 16D UU PPN.

III. DASAR HUKUM

Sesuai dengan legal karakter PPN, disebutkan bahwa PPN merupakan pajak objektif. Menurut Untung Sukardji dalam Pokok-pokok PPN di Indonesia 2010, pajak objektif mempunyai pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh ‘tatbestand’ yaitu peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan atau menjadi tidak relevan. Hal inilah yang menjadi dasar filosofi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan tentang PPN. Pasal-pasal yang mengatur tentang objek pajak dalam UU PPN sangat jelas diatur, namun pasal-pasal yang mengatur mengenai subjek pajak masih belum tegas dan jelas diatur.

1. Dasar Hukum Objek PPN

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pasal-pasal yang mengatur tentang objek PPN sangat jelas dan terinci. Pasal 4 UU PPN mengatur mengenai objek PPN dan Pasal 4A UU PPN mengatur tentang barang dan jasa yang tidak terutang PPN yang rinciannya ditegaskan dalam penjelasan UU, bukan lagi dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah.

Dalam penjelasan pasal 4 UU PPN ditegaskan pula adanya persyaratan penyerahan barang/jasa yang dikenakan PPN yaitu :

a. Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;

2) barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;

3) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan

4) penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya

b. Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;

2) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan

3) penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-Cuma.

Disamping itu pula, salah satu objek PPN diatur dalam Pasal 16D UU PPN yang menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c. Hal ini berarti bahwa apabila telah dikukuhkan sebagai PKP, menjual BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, terutang PPN kecuali atas Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan karena perolehan Barang Kena Pajak tersebut tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan perolehan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan. BKP di sini juga ditekankan merupakan aktiva, sehingga sangat terkait dengan adanya suatu pembukuan yang memang menyediakan laporan mengenai hal-hal yang salah satunya adalah aktiva sebagai asset kepemilikan.

2. Dasar Hukum Subjek PPN

Pengaturan mengenai subjek PPN, diatur dalam pasal 3A UU PPN dan penulis dapat menguraikan subjek PPN menurut UU PPN dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu :

a. WP badan atau orang pribadi sebagai PKP

b. WP badan atau orang pribadi sebagai Pengusaha Kecil

c. WP badan atau orang pribadi yang melakukan penyerahan bukan BKP/JKP

yang apabila melakukan suatu kegiatan yang terkait dengan objek PPN, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN tersebut.

Dasar hukum yang mengatur kewajiban PKP yaitu pasal 3A ayat (1) UU PPN dinyatakan bahwa Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang. Batasan antara Pengusaha yang wajib PKP dengan Pengusaha Kecil tidak diatur dengan jelas, namun diatur dalam aturan pelaksana UU yaitu Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-68/PMK.03/2010 tanggal 23 Maret 2010 yaitu berbunyi bahwa Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Jika kita kembali kepada difinisi Pengusaha dan PKP dalam UU PPN dijelaskan bahwa:

· Pasal 1 angka 14 : Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

· Pasal 1 angka 15 : Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan / atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.

Serta ketentuan dalam UU KUP yang mengatur tentang kewajiban Pengukuhan PKP yakni:

· Pasal 2 ayat (2) : Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Berdasarkan uraian dasar hukum subjek PPN tersebut di atas, dapat dibuat definisi secara garis besar bahwa WP yang wajib dikukuhkan sebagai PKP menurut UU PPN adalah setiap WP baik badan maupun orang pribadi yang sebagai pengusaha dimana dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kecuali yang dikatagorikan sebagai pengusaha kecil yang batasan omzetnya tidak lebih dari Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

IV. PEMBAHASAN KASUS

Pembahasan mengenai kasus perlukah WP orang pribadi dikukuhkan sebagai PKP dalam hal melakukan penyerahan sewa tanah dan/atau bangunan, akan diuraikan dengan cara menyandingkan permasalahan yang secara nyata dihadapi oleh WP dengan dasar hukum yang berlaku. Dan pada akhirnya akan disimpulkan layakkah WP orang pribadi yang memperoleh penghasilan lain selain pekerjaan utamanya, yakni khusus untuk sewa tanah dan/atau bangunan, diwajibkan mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP. Apabila pemerintah dalam hal ini DJP yang berfungsi sebagai regulator sangat mengharapkan potensi pajak dari sektor ini, penulis mencoba memberikan saran dalam menambah atau merivisi regulasi yang ada agar menjadi terang segala permasalahan yang terkait pengukuhan PKP bagi WP orang pribadi ini.

Kalau kita sangat berpatokan pada ketentuan hukum yang mengatur PPN baik secara objektif maupun subjektif, mungkin memang Wajib Pajak orang pribadi tersebut wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP. Dari segi objek, sewa tanah dan/atau bangunan itu jelas-jelas merupakan Jasa Kena Pajak (objek PPN), begitu juga dari segi subjek, apabila omzet sewa tersebut sudah melebihi Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) maka wajib dikukuhkan sebagai PKP.

Untuk pembahasan kali ini, kita memprioritaskan untuk mendalami solusinya dari segi subjek PPN dan sebagaimana kita ketahui bahwa dari segi objek PPN, memang tak terbantahkan bahwa sewa tanah dan/atau bangunan tersebut merupakan objek PPN. Dan berikut ini, permasalahan yang ada disandingkan dengan ketentuan yang berlaku terutama filosofi yang terkandung dalam ketentuan tersebut, yakni sebagai berikut:

1. Pekerjaan WP orang pribadi hanya berstatus sebagai direksi atau karyawan perusahaan, sehingga menimbulkan kerancuan apakah orang pribadi ini bisa disebut sebagai pengusaha sesuai UU PPN.

Sesuai Pasal 2 ayat (2) UU KUP dan bila kita perhatikan definisi dari Pengusaha dan PKP menurut UU PPN, yang dapat diambil poin-poinnya yaitu sebagai berikut:

a. Orang Pribadi atau Badan

b. Dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya

c. Melakukan Penyerahan BKP/JKP

Hal ini dapat diambil pengertian bahwa orang pribadi dapat juga sebagai PKP yaitu orang pribadi sebagai Pengusaha dan jika dikaitkan dengan orang pribadi, pengertian dalam kegiatan usaha atau pekerjaan ini yang perlu penegasan, karena akan sangat erat terkait dengan salah satu syarat suatu penyerahan jasa dikenakan PPN yang diuraikan sebelumnya yaitu penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya sehingga apabila syarat penyerahan ini tidak terpenuhi maka otomatis tidak akan ada yang namanya penyerahan yang dikenakan PPN. Penting kiranya kita mendalami apa yang dimaksud dengan ‘dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya’. Sebelum dilakukannya perubahan UU PPN, dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a mengenai objek pajak, dinyatakan bahwa penyerahan dilakukan dalam lingkungan usaha atau perkerjaannya artinya dalam rangka kegiatan sehari-hari Wajib Pajak. Jadi hal ini merupakan tolok ukur orang pribadi dapat disebut pengusaha. Atas permasalahan yang ada, orang pribadi tersebut hanya bekerja sebagai karyawan atau direksi di suatu perusahaan dan penghasilan sewa yang diterimanya bukan merupakan hasil dari kegiatan WP sehari-hari sehingga sangat disangsikan orang pribadi sebagai karyawan dalam hal melakukan penyerahan sewa dapat dikatagorikan sebagai Pengusaha.

Penjelasan ini juga mendukung solusi atas permasalahan nomor 2 berikut ini.

2. Penyerahan sewa yang dilakukan oleh WP hanya insidentil atau tidak rutin

Pengertian kegiatan sehari-hari Wajib pajak, menandakan bahwa kegiatan penyerahan sewa tersebut sering atau rutin dilakukan, sehingga kalau sifatnya insidentil maka belum dapat dikatagorikan orang pribadi tersebut sebagai Pengusaha.

Sebagai contoh misalnya Bapak Iwan bekerja sebagai pegawai negeri, memiliki harta tanah luasnya 1 hektar yang diperoleh dari warisan orang tuanya. Pada bulan Desember tahun 2010 menyewakan tanah tersebut ke sebuah perusahaan dengan sewa sebesar Rp. 750.000.000,- dalam jangka waktu 5 tahun. Dari segi objek sudah terpenuhi dan dari segi syarat omzet juga sudah terpenuhi. Apabila Bpk Iwan dipaksa untuk PKP pada bulan berikutnya sejak terpenuhi lebih dari Rp. 600.000.000,00 yakni bulan Januari 2011, maka begitu di awal tahun tersebut, beliau sebagai PKP wajib melaporkan SPT Masa PPN, namun tidak akan ada transaksi lagi sampai 5 tahun ke depan dan ini akan sangat membebani administrasi Bapak Iwan sebagai Wajib Pajak orang pribadi.

Lain halnya dengan contoh bila Bapak Iwan membangun kontrakan/kost-kostan hampir 100 kamar di tanah 1 hektar tersebut dan memperoleh penghasilan sewa yang bersifat rutin secara bulanan misalnya total per bulan Rp.100.000.000,- sehingga dalam setahun menghasilan sekitar Rp. 1.200.000.000,- yang dari segi syarat omzet sangat terpenuhi dan Bapak Iwan memang melakukan kegiatan usaha yang merupakan kegiatan sehari-hari beliau, sehingga Bapak Iwan dapat dikatagorikan sebagai Pengusaha dan wajib PKP.

3. Sulitnya WP orang pribadi melaksanakan adminitrasi PPN bila telah dikukuhkan sebagai PKP sehubungan banyak orang pribadi belum menyelenggarakan pembukuan.

Hampir sama kasusnya dengan poin 2 di atas, Bapak Iwan yang hanya memperoleh penghasilan secara insidentil maka biasanya tidak dilakukan pencatatan apalagi pembukuan. Beliau hanya menyimpan dokumen yang berhubungan dengan sewa tersebut dan dipakai untuk pelaporan Pajak Penghasilan Tahunannya. Akan memakan banyak waktu baginya hanya untuk sekedar mencatat perolehan sewa yang insidentil dan bahkan dalam suatu tahun tertentu yang akan datang tidak ada penghasilan sewa. Namun kalau Bapak Iwan memang benar-benar kegiatan usahanya sehari-hari memperoleh penghasilan dari persewaan rumah kontrakan/kost-kostan maka biasanya WP seperti ini melakukan pencatatan dan apabila usaha kontrakannya dilakukan lebih serius dan professional, dapat pula Bapak Iwan menyelenggarakan pembukuan.

4. Apabila telah dikukuhkan sebagai PKP dan WP menjual harta tanah dan/atau bangunannya tersebut, apakah terkait dengan Pasal 16D UU PPN.

Seperti dijelaskan dalam dasar hukum, BKP di sini juga ditekankan merupakan aktiva, sehingga sangat terkait dengan adanya suatu pembukuan yang memang menyediakan laporan mengenai hal-hal yang salah satunya adalah aktiva sebagai asset kepemilikan. Terkait kasus nomor 3 di atas, PKP orang pribadi yang tidak menyelenggarakan pembukuan dan atas penjualan kembali tanah dan/atau bangunan yang disewakan, tidak akan pernah memenuhi Pasal 16 D UU PPN.

V. KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari pembahasan mengenai permasalahan penyerahan sewa tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak orang pribadi tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Tujuan adanya perubahan UU PPN diantaranya adalah meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan PPN, menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai, dan mengurangi biaya kepatuhan. Filosofi ini harus tetap dipegang teguh oleh petugas pajak dalam mengatasi berbagai permasalahan perpajakan khususnya PPN.

2. Atas studi kasus ‘perlukah WP Orang Pribadi yang melakukan penyerahan jasa sewa tanah dan/atau bangunan dikukuhkan sebagai PKP’ dan berpegang pada tujuan perubahan UU PPN di atas, dapat ditegaskan bahwa selain aspek objektif maupun subjektif telah terpenuhi, apabila orang pribadi memperoleh penghasilan dari penyerahan sewa yang bersifat insidentil yang bukan merupakan kegiatan sehari-hari WP dan mempertimbangkan berbagai aspek yang terjadi, maka orang pribadi tersebut belum wajib dikukuhkan sebagai PKP, namun apabila merupakan penghasilan yang diperoleh sebagai kegiatan sehari-hari WP, maka wajib dikukuhkan sebagai PKP.

3. Hal ini juga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penyelesaian permasalahan kewajiban PKP bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan penyerahan BKP/JKP yang lain.

Demikianlah pembahasan mengenai studi kasus Pajak Pertambahan Nilai perlukah pengukuhan PKP untuk orang pribadi yang melakukan penyerahan sewa tanah dan/atau bangunan dan pendapat yang disimpulkan hanya merupakan pernyataan yang bersifat pribadi berdasarkan analisa yang dikaitkan dengan aspek hukum dan kenyataan yang terjadi di lapangan. Bagi para akademisi atau pemerhati perpajakan dapat memberikan tanggapan sebagai bahan pendukung dalam penyelesaian permasalahan yang dibahas. Akhir kata, Penulis mengharapkan masyarakat yang mengalami kasus seperti itu dapat memahami dasar hukum dan filosofi pajak pertambahan nilai dikaitkan dengan aspek-aspek nyata yang terjadi dengan baik dan benar.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

assalamualaikum ....
saya telah baca blog saudara,terutama tentang PPnBM atas emas..
apakah saudara bisa memberikan contoh kasus pengenaan pajak nya...
trus bolehkah saya minta referensi yg lebih bnyak tentang PPnBM emas...krna ini adalah bhan saya dalam laporan untuk skripsi..
terimakasih sebeumnyaa..
salam sukses dan salam sejahtra..
semoga perekonomian indonesia menjadi lebih baik

I Ketut Suastika mengatakan...

Dear Bpk Indra
Pembaca SOPINDO

Terimka kasih telah berkunjung ke Blog saya.
Sebelumnya saya minta maaf atas respon yang sangat terlambat ini, sehubungan dengan kesibukan di pekerjaan.
Atas pertanyaan yang Bpk utarakan ttg PPnBM atas emas, yang saya ketahui bahwa emas perhiasan tersebut tidak dikenakan PPnBM kecuali barang2 tertentu yang dilapisi atau atas kandungan emas logam mulia sesuai dg ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 121/PMK.011/2013 tanggal 26 Agustus 2013 (aturan terbaru ttg jenis barang selain kendaran bermotor yang dikenakan PPnBM).
Demikian penjelasan saya, semoga bermanfaat & sukses buat kita semua.

Salam,
SOPINDO