SOLUSI PAJAK INDONESIA ( SOPINDO)

SOLUSI PAJAK INDONESIA ( SOPINDO) :
HADIR DI INDONESIA UNTUK MEMBERIKAN INFORMASI DAN SOLUSI PERPAJAKAN BAGI SELURUH LAPISAN MASYARAKAT

Rabu, 13 April 2011

SOPINDO APRIL 2011 : KONSEP PENGHITUNGAN PAJAK BAGI WANITA KAWIN


I.      PENDAHULUAN
Sering kita jumpai di lingkungan kita sendiri maupun di lingkungan masyarakat permasalahan kewajiban perpajakan bagi wanita yang telah menikah. Pemahaman awal kebanyakan orang mengenai penghitungan pajak untuk wanita menikah/kawin terutama bagi wanita kawin yang memiliki NPWP sendiri (berarti memilih untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri terpisah dari suami) bahwa penghitungan pajaknya dilakukan secara terpisah didasarkan pada masing-masing penghasilan neto yang diperoleh suami maupun istri.
Belakangan ini, pemahaman awal tersebut berubah menjadi kebingungan dan bahkan keresahan sehubungan adanya penekanan ketentuan mengenai penghitungan pajak bagi wanita kawin yang benar menurut Pasal 8 ayat (3) UU PPh. Bagi keluarga yang istrinya sudah terlanjur memiliki NPWP sendiri terpisah dari suami akibat bawaan sebelum menikah atau adanya pendaftaran NPWP yang dilakukan melalui perusahaan tempat wanita tersebut bekerja, akan berakibat timbulnya tambah bayar yang cukup material di saat penghitungan PPh tahunan baik bagi suami maupun istrinya untuk penghasilan dengan jumlah tertentu. Hal ini disebabkan karena penghasilan neto yang dipakai untuk penghitungan pajak bagi keluarga yang istrinya memiliki NPWP sendiri sesuai dengan ketentuan adalah gabungan penghasilan neto suami dan istri.

II.    KONSEP PENGHITUNGAN PAJAKNYA
Untuk lebih jelas pemahaman mengenai penghitungan pajak bagi wanita kawin tersebut, penulis mencoba menguraikan secara sistematis dan sederhana, yakni berdasarkan kondisi sebagai berikut :
1.    Wanita Kawin mempunyai NPWP sendiri
Ada kewajiban bagi istri untuk melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, disamping kewajiban yang telah dilakukan oleh suami.
Ini berarti wanita/istri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. Cara penghitungan pajaknya adalah menggabungkan penghasilan neto suami dan istri untuk dikenakan pajak dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-istri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
Kondisi ini, sama cara penghitungannya dengan kondisi suami istri yang mengadakan perjanjian pisah harta maupun penghasilan dan tidak lagi melihat  sumber penghasilan istri apakah dari 1 pemberi kerja atau lebih, apakah dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Dalam artian, seluruh penghasilan neto istri yang merupakan objek pajak kecuali penghasilan yang dikenakan pajak final, digabungkan dengan penghasilan neto suami dalam menghitung pajaknya.
Hasil penghitungan pajak melalui penggabungan penghasilan neto suami istri tersebut, dilaporkan di masing-masing SPT Tahunan Orang Pribadi suami maupun istri.
Adapun cara penghitungannya dapar dijelaskan seperti contoh sbb :
Tahun 2010, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia yang memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak. Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.566.122.2-012.000) juga bekerja di PT. Gabung Jaya dan memperoleh penghasilan neto selama tahun 2010 sebesar Rp. 40.000.000,- Disamping bekerja, Ny. Soimah juga membuka usaha salon kecantikan yang beromzet Rp. 200.000.000,00 (norma penghasilan neto salon kecantikan 30%).
Cara penghitungan pajak terutangnya adalah :
-       Penghasilan neto Tn. Joko…………….Rp.   60.000.000
-       Penghasilan neto Ny. Soimah:
Ø  Dari PT. Gabung Jaya……...…Rp. ..40.000.000
Ø  Dari usaha salon 
(200.000.000X30%).......................Rp. ..60.000.000
Total penghasilan neto Ny. Soimah...Rp. 100.000.000
-       Total penghasilan neto suami-istri.….Rp. 160.000.000
-       Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/I/1).Rp.  .34.320.000
-       Penghasilan Kena Pajak………………Rp. 125.680.000
-       Pajak terutang:
5%   x Rp. 50.000.000  = Rp.   2.500.000
15% x Rp. 75.680.000  = Rp. 11.352.000
.............................……………………….Rp.   .13.852.000
-       Pajak terutang bagian suami :
  60.000.000   X 13.852.000  =  Rp. 5.194.500
160.000.000
-       Pajak terutang bagian istri :
100.000.000  X  13.852.000  =  Rp. 8.657.500
        160.000.000

Cara pelaporan di SPT tahun pajak 2010:
SPT Tn. Joko:
-       Penghasilan neto………………Rp. 60.000.000
-       PTKP…………………………...(dikosongkan)
-       Penghasilan Kena Pajak……...(dikosongkan)
-       Pajak terutang………………… Rp.  5.194.500
(lampiran penghitungan tersendiri)
-       Pajak yang telah dipotong…….Rp.  2.076.000 
(pemotongan oleh PT benar)
-       Pajak Kurang Bayar…………...Rp. 3.118.500
-       PPh Pasal 25………………….. Rp                0
-       Pajak yg masih harus dibayar..Rp. 3.118.500

SPT Ny. Soimah:
-       Penghasilan neto………………Rp.100.000.000
-       PTKP…………………………...(dikosongkan)
-       Penghasilan Kena Pajak……...(dikosongkan)
-       Pajak terutang………………… Rp.  8.657.500 
(lampiran penghitungan tersendiri)
-       Pajak yang telah dipotong…….Rp.  1.208.000 
(pemotongan oleh PT benar)
-       Pajak Kurang Bayar…………...Rp. 7.449.500
-       PPh Pasal 25………………….. Rp                 0
-       Pajak yg masih harus dibayar..Rp. 7.449.500

           
2.    Wanita Kawin NPWP ikut Suami
Wanita kawin/istri tidak memiliki kewajiban melaporkan SPT sendiri.
a.    Sumber penghasilan istri hanya dari 1 pemberi kerja
Bila istri ikut NPWP suami alias mempunyai NPWP dengan kode cabang suami (3 digit terakhir 999) dan sumber penghasilannya hanya dari bekerja di 1 perusahaan, maka atas penghasilannya tidak digabungkan dengan penghasilan neto suami dalam penghitungan pajak terutang, namun atas penghasilan istri dan pajak yang telah dipotong perusahaan dianggap final dan dilaporkan di SPT Tahunan Orang Pribadi suami di Lampiran III Bagian A angka 15 SPT 1770 atau Lampiran II Bagian A angka 13 SPT 1770 S.
Contoh penghitungannya:
Tahun 2010, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia yang memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak. Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.564.344.9-012.999) juga bekerja di PT. Gabung Jaya dan memperoleh penghasilan neto selama tahun 2010 sebesar Rp. 40.000.000,-
Cara penghitungan pajak terutangnya dan pelaporan di SPT suami adalah :
SPT Tn. Joko:
-       Penghasilan neto………………Rp. 60.000.000
-       PTKP (K/1)…………………….....Rp. 18.480.000
-       Penghasilan Kena Pajak……....Rp. 41.520.000
-       Pajak terutang………………….. Rp.  2.076.000 
(lampiran tersendiri penghitungan)
-       Pajak yang telah dipotong……..Rp.  2.076.000 
(pemotongan oleh PT benar)
-       Pajak Kurang Bayar…………....Rp.              0
-       PPh Pasal 25…………………..  Rp               0
-       Pajak yg masih harus dibayar...Rp.              0
(Penghasilan bruto istri dan pajak terutangnya dilaporkan di lampiran penghasilan yang dikenakan pajak Final)

b.    Sumber penghasilan istri lebih dari 1 pemberi kerja dan/atau punya kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Bila istri ikut NPWP suami alias mempunyai NPWP dengan kode cabang suami (3 digit terakhir 999) dan sumber penghasilannya dari bekerja di lebih dari 1 perusahaan dan/atau mempunyai kegiatan usaha/pekerjaan bebas, maka atas penghasilannya digabungkan dengan penghasilan neto suami dalam penghitungan pajak terutang dan hampir sama penghitungannya dengan kondisi istri memiliki NPWP sendiri, namun pelaporannya tetap di 1 SPT yaitu SPT suami (bukan lampiran tersendiri)
Contoh penghitungannya:
Tahun 2010, Tn. Joko (NPWP. 06.564.344.9-012.000) bekerja di PT. Anugerah Bahagia yang memperoleh penghasilan neto sebesar Rp. 60.000.000,00 dengan satus kawin 1 anak. Istrinya, Ny. Soimah (NPWP. 06.564.344.9-012.999) juga bekerja di PT. Gabung Jaya dan memperoleh penghasilan neto selama tahun 2010 sebesar Rp. 40.000.000,- Disamping bekerja, Ny. Soimah juga membuka usaha salon kecantikan yang beromzet Rp. 200.000.000,00 (norma penghasilan neto salon kecantikan 30%).
Cara penghitungan pajak terutangnya dan pelaporan di SPT suami adalah :
SPT Tn. Joko:
-       Penghasilan neto:
Penghasilan neto suami…………………Rp.  60.000.000
Penghasilan neto istri…………………….Rp.  40.000.000
Penghasilan usaha salon……………….Rp.  60.000.000 
(Rp. 200.000.000 x 30%)
Total penghasilan neto………………......Rp. 160.000.000
-       PTKP (K/I/1)…………………………..…....Rp. 34.320.000
-       Penghasilan Kena Pajak………………..Rp. 125.680.000
-       Pajak terutang :
-       5%   x Rp. 50.000.000 =Rp.   2.500.000
-       15% x Rp. 75.680.000 =Rp. 11.352.000..Rp. 13.852.000

-       Pajak yang telah dipotong………………...Rp.  3.284.000
-       Pajak Kurang Bayar……………………......Rp.10.568.000
-       PPh Pasal 25………………………………                     0
-       Pajak yg masih harus dibayar……….…..Rp.10.568.000

3.    ANALISA TAX PLANNING
Melihat beberapa contoh di atas, dapat dikatakan bahwa timbulnya kurang bayar pajak pada penghitungan tahunan sangatlah besar sehubungan adanya ketentuan penggabungan penghitungan penghasilan neto suami dan istri dengan beberapa kondisi.
Apabila dalam sebuah keluarga dengan kondisi istri hanya bekerja di 1 perusahaan saja dan melihat ketentuan bahwa ikut NPWP suami, penghitungannya dianggap Final, maka untuk mencegah timbulnya kurang bayar akibat penggabungan penghitungan tersebut, alangkah baiknya sang istri ikut NPWP suami dari pada memiliki NPWP sendiri.
Hal ini perlu ditegaskan oleh penulis, mengingat banyaknya kondisi seperti ini di masyarakat kita dan apabila istri telah ber-NPWP maka sebaiknya segera dibuatkan surat permohonan pencabutan dengan pertimbangan ikut NPWP suami.
Di lain pihak, apabila kondisi sebuah keluarga dimana istri bekerja lebih dari satu perusahaan atau mempunyai kegiatan usaha/pekerjaan bebas, maka istri memiliki NPWP sendiri maupun ikut NPWP suami merupakan opsi yang sama. Namun di masyarakat, untuk istri yang memiliki NPWP sendiri, sering kita temui bahwa keluarga yang tidak mengadakan perjanjian pisah harta dan penghasilan mengalami kesulitan dalam pelaporan harta di SPT masing-masing, mengingat pengeluaran keluarga masih campur aduk antara suami dan istri. Misalnya istri yang memperoleh penghasilan di suatu tahun pajak sebesar Rp. 40.000.000,- namun membeli harta berupa kendaraan seharga Rp. 60.000.000,- yang sebagian uangnya dibantu oleh suami, akan menjadi bahan pertanyaan petugas pajak bahwa apakah wajar dengan penghasilan sebesar Rp. 40.000.000,- mampu membeli kendaraan sebesar Rp. 60.000.000,-. Memang hal itu akan dapat dijelaskan secara detail apabila pencatatan suami maupun istri dilakukan dengan benar, namun alangkah lebih praktisnya apabila pelaporan harta itu digabungkan di dalam 1 SPT melalui mekanisme istri ikut NPWP suami.

Demikianlah uraian yang penulis coba angkat, mengingat hal ini sering terjadi di masyarakat dan diharapkan dapat menjadi panduan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan di masyarakat.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagaiimana cara pelaporan pajak bagi istri (sumber penghasilan dari 1 pemberi kerja) yang NPWP suami (sudah tidak bekerja)

I Ketut Suastika mengatakan...

Salam SOPINDO

Mohon maaf atas keterlambatan dalam membalas email Bapak.
Atas pertanyaan Bpk Rifa'i dapat dijelaskan sbb:

1. Pada dasarnya keluarga merupakan satu kesatuan ekonomi dan ini selanjutnya dikaitkan dengan aturan perpajakan yang berlaku adalah adanya istri yang ikut NPWP suami.
2. Penentuan pemakaian jenis SPT yakni 1770 atau 1770 S atau 1770 SS ditentukan oleh jumlah dan jenis penghasilan yang diterima OP (Org Pribadi).
3. Untuk 1770 SS, digunakan apabila OP hanya bekerja di 1 pemberi kerja & menerima penghasilan tidak lebih dari 60jt. Ini hanya bagi OP yg bersangkutan, bukan istrinya.
4. Untuk kasus Bpk. Rifa'i dan istri ikut NPWP suami (istri berNPWP keluarga - 3 digit terakhir yakni 001 atau 999), ada baiknya melaporkan penghasilan istri yg hanya dari 1 pemberi kerja menggunakan SPT 1770 S yg dilaporkan pada lampiran 1770 S - II Bagian A angka 13 yang dinyatakan final. Sedangkan apabila memang benar adanya penghasilan suami tidak ada, maka SPT Induknya dilaporkan NIHIL.

Demikian yang dapat saya jelaskan, semoga bermanfaat.

Terima kasih saya ucapkan atas kunjungannya ke blog SOPINDO.

Salam,

SOPINDO