SOLUSI PAJAK INDONESIA ( SOPINDO)

SOLUSI PAJAK INDONESIA ( SOPINDO) :
HADIR DI INDONESIA UNTUK MEMBERIKAN INFORMASI DAN SOLUSI PERPAJAKAN BAGI SELURUH LAPISAN MASYARAKAT

Kamis, 01 November 2012

KAJIAN TENTANG ASPEK HUKUM ANTARA LAPOR SENDIRI DENGAN DITEMUKAN FISKUS DALAM SISTEM SELF ASSESSMENT BAGI WAJIB PAJAK


LATAR BELAKANG

Seperti kita ketahui bersama bahwa sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan tetap menganut sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (sistem self assessment). Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Disamping memberi kepercayaan penuh kepada masyarakat dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan, fungsi pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) salah satunya adalah melakukan pengawasan terhadap kepatuhan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sistem pengawasan yang dilaksanakan mulai dari himbauan untuk membetulkan SPT sampai dengan dilakukannnya pemeriksaan atau bahkan apabila ada unsur tindak pidana perpajakan maka akan dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan maupun penyidikan.
Berdasarkan sistem self assessment dan fungsi pengawasan tersebut ditambah dengan adanya ketentuan daluarsa penetapan pajak yakni Pasal 13 UU KUP yang berbunyi :
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar…
hal-hal tersebut memiliki konsekuensi hukum secara sederhana sebagai berikut :
1)       Apabila hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan sistem self assessment dilaksanakan dengan benar oleh Wajib Pajak maka setelah lewat 5 (lima) tahun akan menjadi suatu keputusan/ketetapan hukum yang pasti (inkracht) tanpa harus melalui penerbitan suatu ketetapan pajak.
2)       Namun apabila pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan dilakukan tidak benar sehingga data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dengan data yang dimiliki/ditemukan oleh DJP tidak sama maka akan dilakukan tindakan pengawasan mulai dari himbauan sampai dengan pemeriksaan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atau bahkan sampai dilakukan tindakan penyidikan.
Namun pelaksanaan sistem self assessment ini jangan diartikan hanya berlaku pada saat awal pelaksanaan kewajiban perpajakan misalnya pada saat pelaporan SPT, namun masih terdapat konsep hukum yang ada untuk digunakan oleh Wajib Pajak apabila dalam kurun waktu 5 (lima) tahun setelah terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak atau tahun pajak terdapat data yang belum dilaporkan sehingga menimbulkan konsekuensi ditemukan dan dilakukannya tindakan pengawasan oleh DJP.
Atas dasar inilah, dicoba untuk menguraikan aspek hukum antara lapor sendiri dengan ditemukan oleh fiskus dalam sistem self assessment bagi Wajib Pajak. Hal ini sangat bermanfaat untuk memberikan kejelasan informasi atas konsekuensi hukum yang ada dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan kepada Wajib Pajak khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

ASPEK HUKUM ANTARA LAPOR SENDIRI DENGAN DITEMUKAN FISKUS DALAM SISTEM SELF ASSESSMENT
Aspek hukum antara lapor sendiri/kemauan sendiri dengan ditemukan oleh fiskus akan dijelaskan dalam hubungannya dengan tiga tatanan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan sistem self assessment dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yaitu sebagai berikut :
A.      Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau PKP;
B.       Melaporkan SPT;
C.      Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT.

A.      Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau PKP
Berdasarkan Pasal 2 UU KUP dinyatakan bahwa :
Ayat (1)
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Ayat (2)
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Dan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 yang menyatakan bahwa:
Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Ini mengartikan bahwa dengan kemauan sendiri Wajib Pajak diwajibkan untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Namun apabila hal tersebut tidak dilaksanakan dengan benar oleh Wajib Pajak dan terdapat data yang ditemukan oleh DJP yang mengindikasikan timbulnya kewajiban tersebut maka DJP mempunyai hak untuk menerbitkan dan mengukuhkan secara jabatan berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU KUP yang berbunyi :
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
Serta Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 yang berbunyi :
Apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) tidak dipenuhi pengusaha, Direktur Jenderal Pajak dapat mengukuhkan pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.

Konsekuensi hukum yang dapat kita ambil di sini adalah :
1)       Sesuai Pasal 4 a UU KUP dinyatakan bahwa :
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak terutama pengertian ‘secara jabatan’ misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun 2005, kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005 yang artinya berlaku surut sejak persyaratan subjektif dan objektif (penghasilan) terpenuhi.
Begitu juga untuk kewajiban PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 yang berbunyi :
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2)       Hal ini dilakukan oleh DJP melalui sistem pengawasan dengan jalan dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak akan menerima konsekuensi hukum sesuai Pasal 13 ayat (1) huruf e yakni :
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:…
e.        apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
disertai sanksi administrasi pajak sesuai Pasal 13 ayat (2) yang berbunyi :
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
3)        Berdasarkan hal tersebut, aspek hukum antara melaporkan sendiri dengan ditemukan oleh DJP dalam pelaksanaan kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP/PKP sangatlah berbeda dan tentunya aspek hukum ditemukan oleh DJP mengandung konsekuensi yang lebih berat bagi Wajib Pajak sehingga diharapkan setiap Wajib Pajak benar-benar melaksanakan pendaftaran NPWP/PKP dengan kesadaran sendiri untuk meminimalisir sanksi yang akan dikenakan.

B.      Melaporkan SPT
Sarana pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak adalah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT). SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sebelum melaporkan SPT, Wajib Pajak menggunakan haknya untuk menghitung, menyetor pajak yang terutang dan disamping itu apabila terdapat kendala yang mengakibatkan tidak selesainya SPT pada waktunya, Wajib Pajak juga dapat menggunakan haknya untuk mengajukan penundaan penyampaian SPT.
Apabila pelaporan SPT tidak dilaksanakan tepat waktu maka sesuai Pasal 7 ayat (1) UU KUP akan dikenakan sanksi denda yang berbunyi :
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
Namun semua itu tetap dilaksanakan dengan kesadaran sendiri dan pelaporan apa adanya tanpa ada yang disembunyikan sesuai ketentuan Pasal 4 UU KUP yang berbunyi:
Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.
Adapun yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
1)       benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
2)       lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
3)       jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
Dan apabila terdapat data yang belum dilaporkan, diberikan hak kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan SPT, sesuai Pasal 8 ayat (1) UU KUP yang berbunyi:
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
Akibat pembetulan SPT ini, Wajib Pajak juga akan menerima sanksi administrasi berupa bunga keterlambatan pembayaran kekurangan pajak terutang sesuai Pasal 8 ayat (2) dan (2a) yang berbunyi:
Ayat (2)
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan
Ayat (2a)
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Namun apabila Wajib Pajak mengisi dan menyampaikan SPT dengan tidak benar dan tidak melakukan pembetulan atas ketidakbenaran SPT tersebut, serta kemudian ditemukan data yang berbeda oleh DJP maka Wajib Pajak akan menerima konsekuensi hukum sesuai PER-170/PJ/2007 tentang tata cara pelaksanaan konseling terhadap Wajib Pajak sebagai tindak lanjut surat himbauan yakni:
1)       DJP akan mengirimkan surat himbauan pembetulan SPT kepada Wajib Pajak. Surat himbauan adalah surat yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan berdasarkan hasil penelitian internal untuk meminta klarifikasi kepada Wajib Pajak terhadap adanya dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2)       Apabila tidak direspon oleh Wajib Pajak, maka akan dikirimkan kembali surat himbauan kedua dengan diberikan batas waktu untuk melakukan pembetulan.
3)       Apabila Wajib Pajak tidak juga merespon surat himbauan kedua tersebut, maka DJP melalui Account Representative akan dilaksanakan konseling dengan mengundang Wajib Pajak untuk datang ke KPP mengklarifikasikan data yang ditemukan. Konseling adalah sarana yang disediakan bagi Wajib Pajak untuk melakukan klarifikasi terhadap data yang tercantum dalam Surat Himbauan.
4)       Pelaksanaan konseling ini diibaratkan sebagai penelitian data yang diklarifikasi oleh Wajib Pajak dengan hasil akhir menimbulkan 2 opsi yakni:
a.       Apabila Wajib Pajak/Kuasanya mengakui kebenaran data dan bersedia untuk melaksanakan pembetulan SPT, Petugas Konseling wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembetulan tersebut. Dengan kata lain apabila Wajib Pajak sudah melakukan pembetulan dan bersedia membayar kekurangan pajak terutang akibat temuan data tersebut, maka kasus akan tutup.
b.       Namun dalam hal setelah jangka waktu 14 hari sejak tanggal pelaksaan konseling berakhir Wajib Pajak belum membetulkan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak tersebut agar diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas sekali terlihat perbedaan apabila dalam melakukan pengisian dan penyampaian SPT dengan tidak benar, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri membetulkan dibandingkan tidak mau membetulkan kemudian data yang belum lapor tersebut ditemukan oleh DJP. Tentukan Wajib Pajak akan dibebani waktu dan tenaga yang lebih besar untuk menanggapi temuan DJP apabila dikirimkan surat himbauan atau bahkan sampai dilaksanakannya konseling yang mewajibkan Wajib Pajak untuk hadir memberikan klarifikasi atas temuan data tersebut. Maka dari itu, poin penting yang bisa diambil dari aspek hukum ini adalah sebaiknya Wajib Pajak mengisi dan menyampaikan SPT dengn benar, lengkap dan jelas, dan kalaupun masih belum benar masih diberikan hak oleh undang-undang untuk segera melakukan pembetulan sehingga tidak akan tersita waktu dan tenaga untuk menanggapi temuan DJP.

C.      Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT
Masih banyak di antara kita belum begitu mengetahui bahwa dalam peraturan perundang-undangan perpajakan masih ada kesempatan bagi Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dengan kemauan sendiri meskipun sedang dilakukan pemeriksaan atau bahkan sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan. Pelaksanaan kewajiban perpajakan ini sering disebut mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT dan tidak sama dengan pengertian pembetulan SPT karena pembetulan SPT hanya dapat dilakukan apabila belum dilakukan pemeriksaan oleh DJP.
Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT ini kita bagi dalam 2 fase yakni:
1.       Sedang dilakukan pemeriksaan.
Apabila ada data yang belum dilaporkan atau pengisian SPT tidak benar, Wajib Pajak masih mempunyai kesempatan dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran tersebut sesuai Pasal 8 ayat 4 UU KUP yang berbunyi :
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
a.        pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b.        rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c.        jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
d.       jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
Atas pengungkapan ketidakbenaran tersebut juga disertai pengenaan sanksi administrasi sesuai Pasal 8 ayat (5) UU KUP yang berbunyi :
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
Namun apabila Wajib Pajak tidak juga mau menggunakan kesempatan untuk mengungkapkan sendiri ketidakbenaran pengisian SPT dan dalam proses pemeriksaan ditemukan adanya indikasi tindak pidana, maka akan dilanjutkan dengan low enforcement yang lebih tinggi yaitu pemeriksaan bukti permulaan.

2.       Sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan.
Begitu pula apabila telah dilakukan pemeriksaan atau sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan sehubungan Wajib Pajak belum mau mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT pada waktu pemeriksaan, Wajib Pajak masih diberi kesempatan untuk menggunakan haknya mengungkapkan ketidakbenaran tersebut disertai sanksi administrasi sesuai Pasal 8 ayat (3) UU KUP yang berbunyi :
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

Namun apabila kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT ini tetap tidak digunakan oleh Wajib Pajak sedangkan data sudah ditemukan dan dimiliki oleh DJP maka akan menerima konsekuensi hukum sebagai berikut :
1.       Setelah selesai dilakukan pemeriksaan dan telah diterbitkan surat ketetapan pajak, maka apabila Wajib Pajak belum melakukan pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT dan data baru (novum) ditemukan oleh DJP maka akan dilakukan pemeriksaan ulang sehingga terbit surat ketetapan pajak Kurang Bayar Tambahan sesuai Pasal 15 ayat (1) UU KUP yang berbunyi :
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Dan disertai sanksi sesuai Pasal 15 ayat (2) yakni :
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
2.       Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti permulaan, maka  sanksi yang akan diterima oleh Wajib Pajak minimal karena unsur kealpaan pertama kali adalah sesuai Pasal 13A UU KUP yang berbunyi :
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
3.       Apabila ketidakbenaran pengisian SPT tersebut merupakan tindak pidana karena unsur kealpaan yang kedua kali, maka akan dilakukan tindakan penyidikan yang akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 38 UU KUP yang berbunyi :
Setiap orang yang karena kealpaannya:
a.        tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b.        menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
4.       Apabila ketidakbenaran pengisian SPT tersebut merupakan tindak pidana karena unsur kesengajaan termasuk konsekuensi atas tidak mendaftarkan NPWP dan/atau PKP, maka akan dilakukan tindakan penyidikan yang akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 39 UU KUP yang berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja:…
a.        tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;…
d.       menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;…
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Jadi dalam hal hak untuk membetulkan SPT telah hilang dan sedang dilakukan pemeriksaan, alangkah baiknya apabila Wajib Pajak menggunakan haknya untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT yang konsekuensi hukum maupun sanksinya lebih ringan dibandingkan data baru maupun ketidakbenaran tersebut diungkapkan oleh pihak DJP sehingga akan diproses sesuai ketentuan perpajakan yang telah disebutkan di atas.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan aspek hukum antara lapor sendiri dengan ditemukan oleh fiskus dalam sistem self assessment yang diuraikan menurut tatanan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, sangat jelas perbedaan konsekuensi hukum yang akan dihadapi oleh Wajib Pajak dan hal ini dapat disimpulkan sesuai bagan berikut:

 
Jadi dengan memahami konsekuensi hukum tersebut di atas, alangkah baiknya Wajib Pajak untuk selalu melaksanakan hak dan kewajibannya dengan benar dan yang lebih penting atas kemauan sendiri menghitung, menyetor dan melaporkan pajaknya sesuai sistem self assessment yang berlaku di Indonesia.


KETENTUAN FORMAL :
  1. Pasal 2, 4, 7, 8, 9, 13, 13A, 15, 38, 39, 43A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sttd Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Penjelasannya (disebut UU KUP); 
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran, Pemberian, dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Pena Pajak. 
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai;  
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 170/PJ/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konseling Terhadap Wajib Pajak Sebagai Tindak Lanjut Surat Himbauan.

Tidak ada komentar: