LATAR BELAKANG
Seperti kita ketahui bersama bahwa sistem, mekanisme, dan tata cara
pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana menjadi ciri dan corak
dalam perubahan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan tetap menganut
sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang (sistem self assessment). Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai
arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada
Wajib Pajak sendiri dan melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang
dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Disamping memberi kepercayaan penuh kepada masyarakat dalam pemenuhan hak
dan kewajiban perpajakan, fungsi pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) salah satunya adalah melakukan pengawasan terhadap kepatuhan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sistem pengawasan yang dilaksanakan
mulai dari himbauan untuk membetulkan SPT sampai dengan dilakukannnya
pemeriksaan atau bahkan apabila ada unsur tindak pidana perpajakan maka akan
dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan maupun penyidikan.
Berdasarkan sistem self assessment dan fungsi pengawasan tersebut ditambah
dengan adanya ketentuan daluarsa penetapan pajak yakni Pasal 13 UU KUP yang
berbunyi :
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar…
hal-hal tersebut memiliki konsekuensi hukum secara sederhana sebagai
berikut :
1)
Apabila hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan sistem
self assessment dilaksanakan dengan benar oleh Wajib Pajak maka setelah lewat 5
(lima) tahun akan menjadi suatu keputusan/ketetapan hukum yang pasti (inkracht)
tanpa harus melalui penerbitan suatu ketetapan pajak.
2)
Namun apabila pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan
dilakukan tidak benar sehingga data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dengan
data yang dimiliki/ditemukan oleh DJP tidak sama maka akan dilakukan tindakan
pengawasan mulai dari himbauan sampai dengan pemeriksaan dengan menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak atau bahkan sampai dilakukan tindakan penyidikan.
Namun pelaksanaan sistem self assessment ini jangan diartikan hanya berlaku
pada saat awal pelaksanaan kewajiban perpajakan misalnya pada saat pelaporan SPT,
namun masih terdapat konsep hukum yang ada untuk digunakan oleh Wajib Pajak
apabila dalam kurun waktu 5 (lima) tahun setelah terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak atau tahun pajak terdapat data yang belum dilaporkan
sehingga menimbulkan konsekuensi ditemukan dan dilakukannya tindakan pengawasan
oleh DJP.
Atas dasar inilah, dicoba untuk menguraikan aspek hukum antara lapor
sendiri dengan ditemukan oleh fiskus dalam sistem self assessment bagi Wajib
Pajak. Hal ini sangat bermanfaat untuk memberikan kejelasan informasi atas konsekuensi
hukum yang ada dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan kepada Wajib
Pajak khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
ASPEK HUKUM ANTARA LAPOR SENDIRI DENGAN
DITEMUKAN FISKUS DALAM SISTEM SELF ASSESSMENT
Aspek hukum antara lapor sendiri/kemauan sendiri dengan ditemukan oleh
fiskus akan dijelaskan dalam hubungannya dengan tiga tatanan pelaksanaan hak
dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan sistem self assessment dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan yaitu sebagai berikut :
A.
Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau PKP;
B.
Melaporkan SPT;
C.
Mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT.
A.
Mendaftarkan diri
untuk memperoleh NPWP dan/atau PKP
Berdasarkan Pasal 2 UU KUP
dinyatakan bahwa :
Ayat (1)
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya
diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Ayat (2)
Setiap Wajib Pajak
sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Dan Pasal 4 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 yang menyatakan bahwa:
Pengusaha wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila
sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Ini mengartikan bahwa dengan kemauan sendiri Wajib Pajak
diwajibkan untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai PKP. Namun apabila hal tersebut tidak dilaksanakan
dengan benar oleh Wajib Pajak dan terdapat data yang ditemukan oleh DJP yang
mengindikasikan timbulnya kewajiban tersebut maka DJP mempunyai hak untuk
menerbitkan dan mengukuhkan secara jabatan berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU KUP yang
berbunyi :
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau
Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2).
Serta Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 yang berbunyi :
Apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya
kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) tidak dipenuhi
pengusaha, Direktur Jenderal Pajak dapat mengukuhkan pengusaha sebagai
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
Konsekuensi hukum yang dapat kita ambil di
sini adalah :
1) Sesuai Pasal 4 a UU KUP dinyatakan bahwa :
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib
Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum
diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha
Kena Pajak.
Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak terutama pengertian ‘secara
jabatan’ misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak
secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Wajib Pajak telah memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun 2005, kewajiban
perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005 yang artinya berlaku surut
sejak persyaratan subjektif dan objektif (penghasilan) terpenuhi.
Begitu juga untuk kewajiban
PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 yang berbunyi :
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat
ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha
dikukuhkan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2) Hal ini dilakukan oleh DJP melalui sistem pengawasan dengan jalan
dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak akan menerima konsekuensi hukum sesuai
Pasal 13 ayat (1) huruf e yakni :
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam
hal-hal sebagai berikut:…
e.
apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4a).
disertai sanksi administrasi pajak sesuai Pasal 13 ayat (2) yang berbunyi
:
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan,
dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar.
3) Berdasarkan hal tersebut, aspek
hukum antara melaporkan sendiri dengan ditemukan oleh DJP dalam pelaksanaan
kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP/PKP sangatlah berbeda dan
tentunya aspek hukum ditemukan oleh DJP mengandung konsekuensi yang lebih berat
bagi Wajib Pajak sehingga diharapkan setiap Wajib Pajak benar-benar
melaksanakan pendaftaran NPWP/PKP dengan kesadaran sendiri untuk meminimalisir
sanksi yang akan dikenakan.
B.
Melaporkan SPT
Sarana pemenuhan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak adalah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT). SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau
harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Sebelum melaporkan SPT, Wajib Pajak menggunakan haknya untuk
menghitung, menyetor pajak yang terutang dan disamping itu apabila terdapat
kendala yang mengakibatkan tidak selesainya SPT pada waktunya, Wajib Pajak juga
dapat menggunakan haknya untuk mengajukan penundaan penyampaian SPT.
Apabila pelaporan SPT tidak dilaksanakan tepat
waktu maka sesuai Pasal 7 ayat (1) UU KUP akan dikenakan sanksi denda yang
berbunyi :
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan
penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
Namun semua itu tetap dilaksanakan dengan
kesadaran sendiri dan pelaporan apa adanya tanpa ada yang disembunyikan sesuai
ketentuan Pasal 4 UU KUP yang berbunyi:
Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan
benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.
Adapun yang dimaksud dengan benar, lengkap,
dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
1) benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya;
2) lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak
dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
3) jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan
unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
Dan apabila terdapat data yang
belum dilaporkan, diberikan hak kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan
SPT, sesuai Pasal 8 ayat (1) UU KUP yang berbunyi:
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan
yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
Akibat pembetulan SPT ini,
Wajib Pajak juga akan menerima sanksi administrasi berupa bunga keterlambatan
pembayaran kekurangan pajak terutang sesuai Pasal 8 ayat (2) dan (2a) yang
berbunyi:
Ayat (2)
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan
yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas
jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat
Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan
Ayat (2a)
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak
yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan
tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Namun apabila Wajib Pajak mengisi dan
menyampaikan SPT dengan tidak benar dan tidak melakukan pembetulan atas
ketidakbenaran SPT tersebut, serta kemudian ditemukan data yang berbeda oleh
DJP maka Wajib Pajak akan menerima konsekuensi hukum sesuai PER-170/PJ/2007
tentang tata cara pelaksanaan konseling terhadap Wajib Pajak sebagai tindak
lanjut surat himbauan yakni:
1) DJP akan mengirimkan surat himbauan pembetulan SPT kepada Wajib Pajak.
Surat himbauan adalah surat yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan berdasarkan
hasil penelitian internal untuk meminta klarifikasi kepada Wajib Pajak terhadap
adanya dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
2) Apabila tidak direspon oleh Wajib Pajak, maka akan dikirimkan kembali
surat himbauan kedua dengan diberikan batas waktu untuk melakukan pembetulan.
3) Apabila Wajib Pajak tidak juga merespon surat himbauan kedua tersebut,
maka DJP melalui Account Representative akan dilaksanakan konseling dengan
mengundang Wajib Pajak untuk datang ke KPP mengklarifikasikan data yang ditemukan.
Konseling adalah sarana yang disediakan bagi Wajib Pajak untuk melakukan
klarifikasi terhadap data yang tercantum dalam Surat Himbauan.
4) Pelaksanaan konseling ini diibaratkan sebagai penelitian data yang
diklarifikasi oleh Wajib Pajak dengan hasil akhir menimbulkan 2 opsi yakni:
a. Apabila Wajib Pajak/Kuasanya mengakui kebenaran data dan bersedia untuk
melaksanakan pembetulan SPT, Petugas Konseling wajib melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan pembetulan tersebut. Dengan kata lain apabila Wajib Pajak
sudah melakukan pembetulan dan bersedia membayar kekurangan pajak terutang
akibat temuan data tersebut, maka kasus akan tutup.
b. Namun dalam hal setelah jangka waktu 14 hari sejak tanggal pelaksaan
konseling berakhir Wajib Pajak belum membetulkan Surat Pemberitahuan, terhadap
Wajib Pajak tersebut agar diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas sekali terlihat perbedaan apabila
dalam melakukan pengisian dan penyampaian SPT dengan tidak benar, Wajib Pajak
dengan kemauan sendiri membetulkan dibandingkan tidak mau membetulkan kemudian
data yang belum lapor tersebut ditemukan oleh DJP. Tentukan Wajib Pajak akan
dibebani waktu dan tenaga yang lebih besar untuk menanggapi temuan DJP apabila
dikirimkan surat himbauan atau bahkan sampai dilaksanakannya konseling yang
mewajibkan Wajib Pajak untuk hadir memberikan klarifikasi atas temuan data
tersebut. Maka dari itu, poin penting yang bisa diambil dari aspek hukum ini
adalah sebaiknya Wajib Pajak mengisi dan menyampaikan SPT dengn benar, lengkap
dan jelas, dan kalaupun masih belum benar masih diberikan hak oleh
undang-undang untuk segera melakukan pembetulan sehingga tidak akan tersita
waktu dan tenaga untuk menanggapi temuan DJP.
C.
Mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian SPT
Masih banyak di antara kita
belum begitu mengetahui bahwa dalam peraturan perundang-undangan perpajakan
masih ada kesempatan bagi Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakan
dengan kemauan sendiri meskipun sedang dilakukan pemeriksaan atau bahkan sedang
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan. Pelaksanaan
kewajiban perpajakan ini sering disebut mengungkapkan ketidakbenaran pengisian
SPT dan tidak sama dengan pengertian pembetulan SPT karena pembetulan SPT hanya
dapat dilakukan apabila belum dilakukan pemeriksaan oleh DJP.
Pengungkapan ketidakbenaran
pengisian SPT ini kita bagi dalam 2 fase yakni:
1.
Sedang dilakukan pemeriksaan.
Apabila ada data
yang belum dilaporkan atau pengisian SPT tidak benar, Wajib Pajak masih
mempunyai kesempatan dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran
tersebut sesuai Pasal 8 ayat 4 UU KUP yang berbunyi :
Walaupun Direktur
Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan
pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan
tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat
mengakibatkan:
a.
pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih
kecil;
b.
rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih
besar;
c.
jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
d.
jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
Atas
pengungkapan ketidakbenaran tersebut juga disertai pengenaan sanksi
administrasi sesuai Pasal 8 ayat (5) UU KUP yang berbunyi :
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan
ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen)
dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum
laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
Namun apabila Wajib Pajak
tidak juga mau menggunakan kesempatan untuk mengungkapkan sendiri
ketidakbenaran pengisian SPT dan dalam proses pemeriksaan ditemukan adanya
indikasi tindak pidana, maka akan dilanjutkan dengan low enforcement yang lebih
tinggi yaitu pemeriksaan bukti permulaan.
2.
Sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan.
Begitu pula
apabila telah dilakukan pemeriksaan atau sedang dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan tindak pidana perpajakan sehubungan Wajib Pajak belum mau
mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT pada waktu pemeriksaan, Wajib Pajak
masih diberi kesempatan untuk menggunakan haknya mengungkapkan ketidakbenaran
tersebut disertai sanksi administrasi sesuai Pasal 8 ayat (3) UU KUP yang
berbunyi :
Walaupun telah dilakukan tindakan
pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya
ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,
terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan
penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan
pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi
berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang
kurang dibayar.
Namun apabila kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT
ini tetap tidak digunakan oleh Wajib Pajak sedangkan data sudah ditemukan dan
dimiliki oleh DJP maka akan menerima konsekuensi hukum sebagai berikut :
1. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan dan telah diterbitkan surat
ketetapan pajak, maka apabila Wajib Pajak belum melakukan pengungkapan
ketidakbenaran pengisian SPT dan data baru (novum) ditemukan oleh DJP maka akan dilakukan pemeriksaan ulang
sehingga terbit surat ketetapan pajak Kurang Bayar Tambahan sesuai Pasal 15
ayat (1) UU KUP yang berbunyi :
Direktur Jenderal Pajak
dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan
data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
Dan disertai sanksi sesuai Pasal 15 ayat (2) yakni :
Jumlah kekurangan pajak yang
terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan pajak tersebut.
2. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti permulaan, maka sanksi yang akan diterima oleh Wajib Pajak
minimal karena unsur kealpaan pertama kali adalah sesuai Pasal 13A UU KUP yang berbunyi :
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai
sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak
dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak
yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua
ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
3.
Apabila ketidakbenaran
pengisian SPT tersebut merupakan tindak pidana karena unsur kealpaan yang kedua
kali, maka akan dilakukan tindakan penyidikan yang akan dikenakan sanksi sesuai
Pasal 38 UU KUP yang berbunyi :
Setiap orang yang karena kealpaannya:
a.
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b.
menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan
perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2
(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana
kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
4.
Apabila ketidakbenaran
pengisian SPT tersebut merupakan tindak pidana karena unsur kesengajaan
termasuk konsekuensi atas tidak mendaftarkan NPWP dan/atau PKP, maka akan
dilakukan tindakan penyidikan yang akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 39 UU KUP
yang berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja:…
a.
tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau
tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;…
d.
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap;…
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar.
Jadi dalam hal
hak untuk membetulkan SPT telah hilang dan sedang dilakukan pemeriksaan,
alangkah baiknya apabila Wajib Pajak menggunakan haknya untuk mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian SPT yang konsekuensi hukum maupun sanksinya lebih
ringan dibandingkan data baru maupun ketidakbenaran tersebut diungkapkan oleh
pihak DJP sehingga akan diproses sesuai ketentuan perpajakan yang telah
disebutkan di atas.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan aspek hukum antara lapor
sendiri dengan ditemukan oleh fiskus dalam sistem self assessment yang
diuraikan menurut tatanan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak,
sangat jelas perbedaan konsekuensi hukum yang akan dihadapi oleh Wajib Pajak
dan hal ini dapat disimpulkan sesuai bagan berikut:
Jadi dengan memahami konsekuensi hukum tersebut
di atas, alangkah baiknya Wajib Pajak untuk selalu melaksanakan hak dan
kewajibannya dengan benar dan yang lebih penting atas kemauan sendiri
menghitung, menyetor dan melaporkan pajaknya sesuai sistem self assessment yang
berlaku di Indonesia.
KETENTUAN
FORMAL :
- Pasal 2, 4, 7, 8, 9, 13, 13A, 15, 38, 39, 43A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sttd Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Penjelasannya (disebut UU KUP);
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran, Pemberian, dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Pena Pajak.
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai;
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 170/PJ/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konseling Terhadap Wajib Pajak Sebagai Tindak Lanjut Surat Himbauan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar